Berbicara tentang opini publik maka kita harus mengkaji dulu definisi opini. Opini adalah tindakan mengungkapkan apa yang dipercayai, dinilai dan diharapkan seseorang dari objek dan situasi tertentu. Opini memiliki beberapa proses yang dikenal dengan konstruksi, yaitu :
• Konstruksi personal. Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu secara sendiri-sendiri dan subjektif.
• Konstruksi sosial. Konstruksi ini terdiri dari
- Opini kelompok. Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.
- Opini rakyat Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas seperti pemilihan umum atau hasil polling.
- Opini massa yaitu opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.
• Konstruksi politik. Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.
Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.
Ruang lingkup opini public: Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat.
Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu.
Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital” mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada.
Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.
Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja.
Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu.
Pemerintah sendiri kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi (Kelley, 1956).
Selanjutnya, dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima (Walter Lipmann, 1922).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal.
Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat.
Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit (Gerhart D. Wiebe dalam Hennessy, 1990). Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri.
• Konstruksi personal. Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu secara sendiri-sendiri dan subjektif.
• Konstruksi sosial. Konstruksi ini terdiri dari
- Opini kelompok. Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.
- Opini rakyat Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas seperti pemilihan umum atau hasil polling.
- Opini massa yaitu opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.
• Konstruksi politik. Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.
Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.
Ruang lingkup opini public: Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat.
Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu.
Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital” mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada.
Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.
Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja.
Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu.
Pemerintah sendiri kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi (Kelley, 1956).
Selanjutnya, dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima (Walter Lipmann, 1922).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal.
Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat.
Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit (Gerhart D. Wiebe dalam Hennessy, 1990). Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri.