Jenis-jenis Lead

0 komentar
1. Lead Ringkasan
Lead ini hampir sama saja dengan berita biasa, yang ditulis adalah inti ceritanya. Banyak penulis feature menulis lead gaya ini karena gampang.
Misal:
Gempa bumi berkekuatan 7,6 pada skala Richter mengguncang ranah minang,kamis (1/10). Bencana alam tersebut telah meruntuhkan ratusan gedung termasuk sejumlah sekolah dan membuat Pariaman terisolasi….
2. Lead Bercerita
Lead ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi tokohnya.
Misal:
Sejak sore, Ibu Nurmi dan suaminya mencari daun pandan di daerah mandai sebagai bahan utama untuk membuat ketupat yang merupakan penghasilan utama keluarganya
3. Lead Deskriptif
Lead ini menceritakan gambaran dalam pembaca tentang suatu tokoh atau suatu kejadian. Biasanya disenangi oleh penulis yang hendak menulis profil seseorang.
Misal:
Dalam ruangan sekian meter kali sekian meter itu terlihat seorang wanita paruh baya yang tengah mendiktekan sesuatu kepada beberapa anak laki-laki dan perempuan yang duduk berjejer rapi sambil menyimak kata-kata yang diucapkan oleh wanita tersebut…..
4. Lead Kutipan
Lead ini bisa menarik jika kutipannya harus memusatkan diri pada inti cerita berikutnya. Dan tidak klise.
Misal:
“ Saya punya Istri dan Ibu Sri Mulyani sudah punya suami, tidak mungkin saya suka dia” Ujar Aburizal Bakrie saat ditanyai tentang ketidaksukaannya dengan Sri Mulyani terkait kinerja menteri Keuangan terhadap kasus Bank Century.

5. Lead Pertanyaan
Lead ini menantang rasa ingin tahu pembaca, asal dipergunakan dengan tepat dan pertanyaannya wajar saja. Lead begini sebaiknya satu alinea dan satu kalimat, dan kalimat berikutnya sudah alinea baru.
Misal:
Bagaimana pendidikan di negeri kita ini?apakah program yang dijalankan pemerintah telah berada pada jalur yang benar?
6. Lead Menuding
Lead ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada kata “Anda” atau “Saudara”. Pembaca sengaja dibawa untuk menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan.
Misal:
Anda mungkin sering mendapati orang-orang yang mencari rezeki dengan mengais sampah di jalanan, apa yang ada dalam pikiran anda?jijik?mereka sehari-hari bekerja bergelut dengan sampah tanpa ada rasa jijik sama sekali, mereka rela mencari apa saja yang masih punya nilai jual yang akan mereka jual di pengepul. Dst….
7. Lead Penggoda
Lead ini hanya sekadar menggoda dengan sedikit bergurau. Tujuannya untuk menggaet pembaca agar secara tidak sadar dijebak ke baris berikutnya. Lead ini juga tidak memberi tahu, cerita apa yang disuguhkan karena masih teka teki.
Misal:
Ia terus mangayuh roda kehidupannya, menyusuri jalan-jalan demi sesuap nasi bagi keluarganya.
8. Lead Nyentrik
Lead ini nyentrik, ekstrim, bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya.
Misal:
Gas melejit
Ibu-ibu menjerit
Solar melejit
Nelayan menjerit
Jeritan itu mungkin tidak akan pernah dirasakan bagi orang-orang kaya jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM.
9. Lead Gabungan
Ini adalah gabungan dari beberapa jenis lead tadi.
Misal:
Isu yang menyebutkan Aburizal bakrie yang sangat tidak suka dengan kinerja menteri keuangan saat ini, dijawab santai oleh Sri Mulyani “Saya bekerja sesuai Undang-Undang, kalau ada yang tidak suka tanyakan pada mereka” kata Sri Mulyani sambil berjalan menuju ruang rapat. Ia tetap tersenyum cerah sambil menolak menjawab pertanyaan wartawan. Menanggapi hal ini Aburizal Bakrie memberikan pernyataannya “ Saya punya Istri dan Ibu Sri Mulyani sudah punya suami, tidak mungkin saya suka dia” uangkapnya dengan senyum yang menyunggging di ujung bibirnya.

Kapitalisme dan Liberalisme dalam pendekatan Komunikasi

0 komentar
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. jadi, inti dari kapitalisme itu sendiri adalah bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Liberalisme berkembang sejalan dengan Kapitalisme. Perbedaannya, Kapitalisme berdasarkan determinisme Ekonomi, sementara Liberalisme tidak semata didasarkan pada ekonomi melainkan juga filsafat, agama, dan kemanusiaan. J. Salwyn Schapiro menyatakan bahwa Liberalisme adalah “… perilaku berpikir terhadap masalah hidup dan kehidupan yang menekankan pada nilai-nilai kemerdekaan individu, minoritas, dan bangsa.”
Bidang komunikasi mencakup semua aspek baik itu politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal itupun dapat dikaitkan dengan kedua ideology di atas yaitu Kapitalisme dan Liberalisme. Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan social dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada system-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran.
Seperti yang dijelaskan dalam teori Libertarian yang dikemukakan oleh Siebert, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Di era sekarangpun, Media atau Pers sering dikaitkan dengan Kapitalisme dimana lebih mementingkan sisi komersialisasi dari sebuah Berita atau acara di sebuah stasiun televisi dimana, isi dari media tersebut sudah dianggap telah melenceng dari tugais dan fungsinya masing-masing dimana fungsi Pendidikan adalah hal yang utama. Melihat tayangan Hiburan yang semakin merajalela yang menjadi andalan siaran-siaran televisi tanpa melihat sisi edukatif dari sebuah tayangan bagi masyarakat.
Seyogyanya sebuah kebebasan yang selalu diharapkan oleh Pers atau Media harus diimbagi oleh rasa tanggung jawab sepenuhnya bagi masyarakat.

Manajemen Dalam Pelaksanaan Media Penyiaran

0 komentar
Mengelola bisnis media penyiaran merupakan salah satu bisnis yang paling sulit dan paling menantang dibandingkan dengan jenis industri lainnya. Mengelola media penyiaran pada dasarnya adalah mengelola manusia. Keberhasilan media penyiaran sejatinya ditopang oleh kreativitas manusia yang bekerja pada tiga pilar utama yang merupakan fungsi vital yang dimiliki setiap media penyiaran yaitu teknik, program dan pemasaran.
Keberhasilan media penyiaran bergantung pada bagaimana kualitas orang-orang yang bekerja pada ketiga bidang tersebut. Namun demikian, kualitas manusia saja tidak cukup jika tidak disertai dengan kemampuan pimpinan media penyiaran bersangkutan mengelola sumber daya manusia yang ada. Karena alasan inilah manajemen yang baik mutlak diperlukan pada media penyiaran.
Mengelola suatu media penyiaran memberikan tantangan yang tidak mudah kepada pengelolanya, sebagaimana ditegaskan Peter Pringle “Few management position offers challenges equal to those of managing a commercial radio or television station “(tidak banyak posisi manajemen yang memberikan tantangan yang setara dengan mengelola suatu stasiun radio dan televisi lokal).
Tantangan yang harus dihadapi manajemen media penyiaran disebabkan oleh dua hal. Pertama, sebagaimana perusahaan lainnya, media penyiaran dalam kegiatan operasionalnya harus dapat memenuhi harapan pemilik dan pemegang saham untuk menjadi perusahaan yang sehat dan mampu menghasilkan keuntungan. Namun di pihak lain, sebagai tantangan kedua, media penyiaran harus mampu memenuhi kepentingan masyarakat (komunitas) dimana media bersangkutan berada, sebagai ketentuan yang harus dipenuhi ketika media penyiaran bersangkutan menerima izin siaran (lisensi) yang diberikan negara.
Dengan demikian, upaya untuk menyeimbangkan antara memenuhi kepentingan pemilik dan kepentingan masyarakat memberikan tantangan tersendiri kepada pihak manajemen media penyiaran. Media penyiaran pada dasarnya harus mampu melaksanakan berbagai fungsi yaitu antara lain fungsinya sebagai media untuk beriklan, media hiburan, media informasi dan media pelayanan. Untuk mampu melaksanakan seluruh fungsi tersebut sekaligus dapat memenuhi kepentingan pemasang iklan, audien serta pemilik dan karyawan merupakan tantangan tersendiri bagi manajemen. Corak produksi (mode of production) dalam manajemen media yang mengabdi kepada kepentingan modal akan menjadikan pemberhalaan terhadap rating dan iklan, sehingga selera pasar yang kemudian diikuti. Merebaknya genre tayangan berita infotainment adalah fenomena yang bisa menjadi penjelasan atas konsekuensi ini.
Pengelola stasiun penyiaran sering membuat kesalahan yaitu memulai kegiatan dan membuat keputusan tanpa menetapkan tujuan terlebih dahulu. Tujuan adalah suatu hasil akhir, titik akhir atau segala sesuatu yang akan dicapai. Setiap tujuan kegiatan dapat juga disebut dengan sasaran (goal) atau target.
Tantangan lainnya berasal dari persaingan yang berasal dari berbagai media penyiaran yang ada. Berbagai stasiun radio dan televisi saling bersaing secara langsung untuk mendapatkan sebanyak mungkin pemasang iklan dan audience. Selain persaingan secara langsung dengan media penyiaran lainnya, stasiun radio dan televisi juga harus bersaing dengan jenis media massa lainnya seperti televisi kabel, Internet, ataupun jenis new media lainnya.
Sebagaimana organisasi atau perusahaan lain, media penyiaran menggunakan manajemen dalam menjalankan kegiatannya, dan setiap orang yang mempunyai tanggungjawab atas bawahan dan sumber daya organisasi lainnya dengan menjalankan fungsi manajemen disebut dengan manajer . Pada dasarnya, manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan menjadi lebih sulit.
Kita mungkin sangat sering mendengar kata ‘manajemen’ namun jika seseorang ditanya mengenai apakah manajemen itu, maka jawabannya bisa sangat beragam. Hal ini tidak mengherankan karena tanggung jawab yang tercakup dalam manajemen bisa sangat beragam dan sekaligus kompleks.
Maksud penetapan tujuan pada media penyiaran adalah agar terdapat koordinasi dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh departemen dan individu dengan tujuan utama media penyiaran. Pada saat tujuan media penyiaran ditetapkan maka tujuan dari berbagai departemen dan tujuan personal yang bekerja pada departemen bersangkutan dapat direncanakan dan dikembangkan. Tujuan individu harus memberikan kontribusinya pada pencapaian tujuan departemen yang pada gilirannya tujuan departemen harus sesuai pula dengan tujuan departemen lainnya dan juga tujuan umum media penyiaran bersangkutan.
Sebagai tambahan, seluruh tujuan harus dapat dicapai, terukur, memiliki tenggat waktu (deadline) serta dapat diawasi. Sekali tujuan ditetapkan maka rencana atau strategi dapat disusun untuk mencapainya. Skema berikut ini menunjukkan bahwa hanya setelah misi dasar ditetapkan maka tujuan, strategi, program, kebijakan dan rencana dapat ditetapkan.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam perdebatan teoritis dalam manajemn media, ada baiknya kita mengurai dulu tentang kepemilikan media (media ownership). Manajemen media tentu tidak lepas dari pemilik media bersangkutan. Berdasarkan kepemilikannya, media dapat dibagi dalam tiga bagian besar. Pertama, not-for-profit media organization. Media yang dikelola dalam manajemen model ini umumnya diorganisir atas dasar non profit oleh kelompok kepentingan seperti kelompok perempuan, etnis dsb. Media seperti ini lebih memiliki kebebasan dalam editorial dan isi, sehingga peran pekerja media sebagai agency, jika melihat manajemen media dalam teori strukturasi, menjadi lebih besar. Pekerja media relatif lebih bebas dan leluasa mengartikulasikan ide-idenya.
Model manajemen media seperti ini yang ideal dalam kerangka membangun ruang publik, karena dengan model manajemen media seperti ini berbagai isu dan wacana dapat saling dibenturkan secara bebas. Persoalannya adalah media dengan model kepemilikan seperti ini terbatas secara kuantitas dan kualitas. Jumlah yang terbatas dan kemampuan bersaing dengan media yang berorientasi pada penumpukan laba adalah persoalan yang harus dihadapi oleh media dengan model kepemilikan seperti ini. Belum lagi kualitas dari manajemen medianya yang terbilang ketinggalan dengan media yang dimiliki oleh swasta.
Kedua adalah organisasi media yang dimiliki oleh negara atau public (public/state owned media organizations). Model kepemilikan organisasi media seperti ini mendudukan kontrol negara dalam posisi yang vital. Manajemen media dalam model kepemilikan seperti ini memainkan peran menjadikan media sebagai alat penanam ideologi negara dan hegemoni, sebuah fenomena sosial yang banyak dijumpai di negara komunis. Sedangkan public owned media mengindikasikan media digunakan untuk kepentingan publik, dengan dibiayai pajak langsung maupun tidak langsung, yang biasanya berfokus pada berita dan dokumenter seperti BBC di Inggris.
Terakhir adalah organisasi media yang dimiliki oleh swasta (privately owned media organizations). Model kepemilikan media ini mengindikasikan bahwa media dimiliki swasta, dikontrol oleh individu, keluarga, pemegang saham maupun holding company. Model kepemilikan yang terakhir inilah yang saat ini secara telak mendominasi, sehingga manajemen media pun tidak lepas dari kepentingan pemilik modal, sebagaimana yang dikemukakan penganut teori neo Marxisme namun dibantah oleh para penganut teori strukturasi yang mendudukan pekerja media dalam manajemen media sebagai pihak yang memiliki daya tawar terhadap manajemen dan pemilik media.

Pentingnya Opini Publik dalam Komunikasi Politik

0 komentar
Berbicara tentang opini publik maka kita harus mengkaji dulu definisi opini. Opini adalah tindakan mengungkapkan apa yang dipercayai, dinilai dan diharapkan seseorang dari objek dan situasi tertentu. Opini memiliki beberapa proses yang dikenal dengan konstruksi, yaitu :
• Konstruksi personal. Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu secara sendiri-sendiri dan subjektif.
• Konstruksi sosial. Konstruksi ini terdiri dari
- Opini kelompok. Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.
- Opini rakyat Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas seperti pemilihan umum atau hasil polling.
- Opini massa yaitu opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.
• Konstruksi politik. Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.
Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.
Ruang lingkup opini public: Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat.
Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu.
Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital” mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada.
Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.
Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja.
Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu.
Pemerintah sendiri kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi (Kelley, 1956).
Selanjutnya, dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima (Walter Lipmann, 1922).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal.
Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat.
Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit (Gerhart D. Wiebe dalam Hennessy, 1990). Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri.

komunikator politik

0 komentar
A. Ragam Komunikator Politik.
Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, namun yang melakukannya secara tetap dan berkesinambungan jumlahnya relatif sedikit. Walaupun sedikit, para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Dan Nimmo (1989) mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut: politikus; professional; dan aktivis.
1. Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudukatif. Daniel Katz (dalam Nimmo, 1989) membedakan politikus ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu: politikus ideolog (negarawan); serta politikus partisan.
a. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik. Mereka tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya. Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner-jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara.
b. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya.
Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah Agung, Ketua/anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).
2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional ”yang mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas perbedaannya atau kelompo-kelompok yang dibedakan”. James Carey (dalam Nimmo, 1989) mengatakan bahwa komunikator profesional adalah makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain ang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional beroperasi (menjalankan kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu pihak, dibebabnkan oleh khalayak akhir dan, di lain pihak , oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat dibedakan politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para jurnalis pada satu sisi, dan para promotor pada sisi lain.
a. Kita membicarakan jurnalis sebagai siapun yang berkaitan dengan media berita dalam pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyerahan laporan mengenai peristiwa-peristiwa. Ini meliputi reporter yang bekerja pada koran, majalah, radio, televisi, atay media lain; koordinator berita televisi; penerbit; pengarah berita; eksekutif stasiun atau jaringan televisi dan radio; dan sebagainya. Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.
b. Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat informasi publik pada jawatan pemerintah, skretaris pers kepresidenan, personel periklanan perusahaan, manajer kampanye dan pengarah publisitas kandidat politik, spesialis teknis (kameraman, produser dan sutradara film, pelatih pidato, dsb.) yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, dan semua jenis makelar simbol yang serupa.
3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. dalam hal lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka. Apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat. Mereka tampil dalam dua bidang: a. Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. B. Mereka meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap gagasan sering mengalir dari media massa kepada pemuka pendapat dan dari mereka kepada bagian penduduk yang kurang aktif . banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting.
B. Komunikator Politik dan Kepemimpinan Politik
Nimmo (1989) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu hubungan di antara orang-orang di dalam suatu kelompok yang di dalamnya satu atau lebih orang (pemimpin) mempengaruhi yang lain (pengikut) di dalam setting tertentu. Lebih lanjut, Ilmuwan politik Lewis Froman (dalam Nimmo, 1989) merangkumkan kecenderungan yang membedakan pemimpin dan bukan pemimpin di dalam kelompok. Pemimpin (1) memperoleh kepuasan yang beragam karena menjadi anggota kelompok; (2) lebih kuat dalam memegang nilai-nilai mereka; (3) memiliki kepercayaan yang lebih besar tentang kelompok itu dan hubungannya dengan kelompok lain, pemerintah, masalah politik, dan sebagainya; (4) kurang kemungkinannya untuk berubah kepercayaan, nilai, dan pengharapannya karena tekanan yang diberikan kepadanya; (5) lebih mungkin membuat keputusan mengenai kelompok berdasarkan kepercayaan, nilai dan pengharapan sebelumnya; dan (6) lebih berorientasi kepada masalah, terutama mengenai masalah yang menyangkut perolehan material, alih-alih kepuasan yang kurang nyata atau pertanyaan yang penuh emosi.
Lebih dari itu, yang dilakukan pemimpin adalah melakukan kegiatan berorientasi tugas, yaitu menetapkan dan bekerja untuk mencapai prestasi atau tujuan kelompok, mengorganisasi agar pekerjaan dapat dapat diselesaika; juga melakukan kegiatan berorientasi orang, sosial, atau emosi seperti perhatian terhadap keinginan dan kebutuhan pengikut, penciptaan hubungan pribadi yang hangat, pengembangan rasa saling percaya, pengusahaan kerja sama, dan pencapaian solidaritas sosial.
Bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang terhadap pemimpin; pengikut mengaitkan kepemimpinan dengan orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang apa pemimpin itu. Beberapa komunikator merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Di luar organisasi mungkin mereka tidak banyak artinya bagi orang. Komunikator seperti itu kita sebut pemimpin organisasi. Namun, komunikator yang tidak menduduki posisi yang ditetapkan dengan jelas; atau, jika menduduki posisi demikian, mereka berarti bagi orang karena alasan di luar peran keorganisasian. Komunikator politik yang merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya, kita beri nama pemimpin simbolik.
Jelas bahwa sebagian besar politikus, komunikator profesional, dan aktivis politik adalah pemimpin organisasi. pejabat terpilih, atau karier mempunyai posisi formal kepemimpinan di dalam jaringan komunikasi yang terorganisasi yang membentuk pemerintah. Komunikator profesional sering merupakan karyawan organisasi-wartawan yang bekerja pada organisasi media massa, dan promotor sebagai anggota organisasi memublikasikan kepentingan perusahaan, jawatan pemerintah, kandidat atau partai politik. Jurubicara sebagai komunikator aktivis adalah pembela organisasi. dari komunikator politik utama yang dilukiskan lebih dulu, hanya pemuka pendapat yang bekerja melalui keakraban yang disediakan oleh jaringan komunikasi interpersonal berada terutama di luar struktur organisasi yang diformalkan.
Kepemimpinan dan kepengikutan adalah cara komplementer untuk meninjau suatu transaksi tunggal.
1. Bagi para pemimpin ada beberapa ganjaran, misalnya, pemimpin mempunyai peluang yang lebih besar untuk menguasai keadaan dan mengendalikan nasibnya. Lebih dari itu, ada sesuatu yang menarik dalam kemampuan mempengaruhi orang lain, menegaskan kekuasaan di dalam kelompok, dan bahkan memberikan keuntungan dan kerugian. Kemudian ada ganjaran ekonomis. Pemimpin organisasi biasanya menduduki posisi dengan gaji yang menarik; pemimpin simbolik sering mendapat bantuan keuangan dari pendukung yang kaya. Apa lagi, ada keuntungan yang meningkat karena memiliki status yang lebih tinggi, baik dalam arti bahwa anggota-anggota kelompok menaruh rasa hormat kepada pemimpin mereka maupun dalam arti bahwa pemimpin itu menguasai cukup sumber nafkah melalui dukungan para pengikutnya –tinggal di rumah mewah, pasukan sekretaris dan asisten, transportasi yang nyaman, orang-orang yang melayani- semua ini bisa merupakan milik yang menyenangkan dan menjadi ganjaran yang pantas bagi para pemimpin.
2. Bagi para pengikut ada beberapa keuntungan yang didapatkannya. Salisbury (dalam Nimmo, 1989) meyakini ada tiga keuntungan utama yang diperoleh pengikut dari transaksi kepemimpinan-kepengikutan. Pertama, ada keuntungan material yang terdiri atas ganjaran berupa barang dan jasa; kedua, keuntungan solidaritas yang berupa ganjaran sosial atau hanya bergabung dengan orang lain dalam kegiatan bersama –sosialisasi, persahabatan, kesadaran status, identifikasi kelompok, keramahan, dan kegembiraan; ketiga, keuntungan ekspresif yang berupa keuntungan ketika tindakan yang bersangkutan mengungkapkan kepentingan atau nilai seseorang atau kelompok, bukan secara intrumental mengejar kepentingan atau nilai. Beberapa orang , misalnya, mendapat kepuasan hanya dengan mendukung seorang calon politik sebagai cara mengatakan kepada orang lain bahwa mereka menentang kejahatan, atau perang, atau kemiskinan, atau korupsi.
Jika dirangkum, terdapat ikatan di antara pemimpin dan pengikut yang ditempa oleh kepuasan material, sosial, dan emosional yang diturunkan orang dari keikutsertaan dalam politik. Kepuasan ini, terutama yang kurang berwujud, yaitu jenis sosioemosional, muncul di dalam dan melalui proses komunikasi. komunikasi menciptakan, mendorong, atau menghancurkan rasa solidaritas di antara orang-orang dan rasa puas pribadi dalam mengungkapkan harapan dan cita-cita, ketakutan dan kegelisahan orang. Kemudian, sampai taraf yang sangat luas, ikatan antara pemimpin dan pengikut adalah ikatan komunikasi. Oleh sebab itu, komunikator politik utama memainkan peran strategis, bertindak sebagai pemimpin politik dengan menyiarkan pesan-pesan yang oleh para pengikutnya dianggap berarti dan memuaskan, sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka yakini.
C. Komponen Efektivitas Komunikator Politik
Dalam komunikasi politik, komunikator politik merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas komunikasi. Beberapa studi mengidentifikasi sejumlah karakteristik yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Richard E. Petty dan John T. Cacioppo dalam bukunya Attitudes and Persuasion: Classic and Contemporary Approaches, dikatakan bahwa ada empat komponen yang harus ada pada komunikator politik, yaitu communicator credibility, communicator attractiveness, communicator similarity dan communicator power (Petty, 1996).
1. Kredibilitas
Kredibilitas sumber mengacu pada sejauh mana sumber dipandang memiliki keahlian dan dipercaya. Semakin ahli dan dipercaya sumber informasi, semakin efektif pesan yang disampaikan. Kredibilitas mencakup keahlian sumber (source expertise) dan kepercayaan sumber (source trustworthiness).
a) Keahlian sumber adalah tingkat pengetahuan yang dimiliki sumber terhadap subjek di mana ia berkomunikasi. Sementara kepercayaan sumber adalah sejauh mana sumber dapat memberikan informasi yang tidak memihak dan jujur. Para peneliti telah menemukan bahwa keahlian dan kepercayaan memberikan kontribusi independen terhadap efektivitas sumber. Dibuktikan oleh Petty bahwa, “expertise was therefore important in inducing attitude change, especially when that advocated position was quite different from the recipients’ initial attitude.” Karena sumber yang sangat kredibel menghalangi pengembangan argumen tandingan, maka sumber yang kredibel menjadi lebih persuasif dibanding sumber yang kurang kredibel. Sebagaimana dikemukakan Lorge dari hasil penelitiannya, bahwa “a high credibility source was more persuasive than a low credibility source if attitudes were measured immediately after the message” (Petty, 1996).
b) Sementara, aspek kepercayaan itu sendiri memiliki indikator-indikator antara lain tidak memihak, jujur, memiliki integritas, mampu, bijaksana, mempunyai kesungguhan dan simpatik.
2. Daya tarik
Daya tarik seorang komunikator bisa terjadi karena penampilan fisik, gaya bicara, sifat pribadi, keakraban, kinerja, keterampilan komunikasi dan perilakunya. Sebagaimana dikemukakan Petty (1996):
“Two communicators may be trusted experts on some issue, but one may be more liked or more physicallyattractive than the other… in part because of his physical appearance, style of speaking and mannerism, …the attractiveness is due to the performance, communication skills, self evaluation … by verbal and by the behavioral measure.”
Daya tarik fisik sumber (source physical attractiveness) merupakan syarat kepribadian . Daya tarik fisik komunikator yang menarik umumnya lebih sukses daripada yang tidak menarik dalam mengubah kepercayaan. Beberapa item yang menggambarkan daya tarik seseorang adalah tampan atau cantik, sensitif, hangat, rendah hati, gembira, dan lain-lain.
3. Kesamaan
Sumber disukai oleh audience bisa jadi karena sumber tersebut mempunyai kesamaan dalam hal kebutuhan, harapan dan perasaan. Dari kacamata audience maka sumber tersebut adalah sumber yang menyenangkan (source likability), yang maksudnya adalah perasaan positif yang dimiliki konsumen (audience) terhadap sumber informasi. Mendefinisikan menyenangkan memang agak sulit karena sangat bervariasi antara satu orang dan orang lain. Namun secara umum, sumber yang menyenangkan mengacu pada sejauh mana sumber tersebut dilihat berperilaku sesuai dengan hasrat mereka yang mengobservasi. Jadi, sumber dapat menyenangkan karena mereka bertindak atau mendukung kepercayaan yang hampir sama dengan komunikan.
Sumber yang menyenangkan (sesuai kebutuhan, harapan, perasaan komunikan) akan mengkontribusi efektivitas komunikasi, bahkan lebih memberikan dampak pada perubahan perilaku. Bila itu terjadi, sumber tersebut akan menjadi penuh arti bagi penerima, artinya adalah bahwa sumber tersebut mampu mentransfer arti ke produk atau jasa yang mereka komunikasikan.
4. Power
Power, menurut Petty (1996) adalah “the extent to which the source can administer rewards or punishment.” Sumber yang mempunyai power, menurutnya, akan lebih efektif dalam penyampaian pesan dan penerimaannya daripada sumber yang kurang atau tidak mempunyai power. Pada dasarnya, orang akan mencari sebanyak mungkin penghargaan dan menghindari hukuman. Sebagaimana dikemukakan oleh Kelman (dalam Petty, 1996) bahwa, “people simply report more agreement with the powerful source to maximize their rewards and minimize their punishment.”
Jadi pada dasarnya harus ada tiga syarat untuk menjadi seorang powerful communicator, yaitu: (1) the recipients of the communication must believe that the source can indeed administer rewards or punishments to them; (2) recipients must decide that the source will use theses rewards or punishments to bring about their compliance; (3) the recipients must believe that the source will find out whether or not they comply (Petty, 1996). Dengan dihasilkan dan terpeliharanya kepatuhan, artinya komunikator dapat mempengaruhi atau mempersuasi perilaku komunikan. Dalam upayanya mempersuasi komunikan, biasanya ada dua faktor penunjang yang harus diperhatikan pula oleh komunikator. Dua faktor tersebut adalah keterlibatan sumber dan kepentingan isu bagi penerima. Keterlibatan yang tinggi menghasilkan efektivitas pesan yang tinggi pula, dan isu yang semakin dekat dengan kepentingan penerima biasanya akan lebih mendorong efektivitas pesan.

A. Apakah ideology liberalisme cocok untuk diterapkan di Indonesia?

0 komentar
Secara umum, liberalisme ingin menciptakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan dalam suatu kebebasan, baik itu kebebebasan dalam berpikir, kebebasan berpendapat, beragama berpikir bagi para individuserta kebebasan pers. Liberalisme lalu berdampak pada aspek politik yang berwujud pada sistem Demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.Walaupunkita tidak bisa selalu mengidentikkan bahwa Demokrasi sudah pasti Liberal. Demokrasi, sampai detik ini, merupakan sistem politik terbaik yang dipunyai oleh peradaban manusia karena menghargai perbedaan dari setiap manusia, dan menjunjung penyama-rataan hak-hak politik masyarakat dan kebebasan beropini rakyat.
Liberalisme di sisi lain juga berdampak pada aspek ekonomi, dalam wujud kapitalisme. Suatu sistem ekonomi yang sangat menekan campur tangan pemerintah dan bergantung pada mekanisme pasar demi “nilai-nilai kebebasan” yang tadi disebutkan.Juga demi memacu daya saing manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Sangatlah masuk akal memang, jika manusia akan sangat terpacu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka jika diberi kepemilikan hak milik pribadi dan kebebasan mengelola dan mendaya gunakannya secara maksimal dan bebas.Dengan kebebasan yang diberikan kepada setiap individu dapat mengakibatkan individu tersebut melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber produksi yang ada.
Kebebasanyang bertanggung jawab ala liberalisme tidak melihat kebebasan secara keseluruhan sebagai kebaikan.Suara sebagian besar (yang belum tentu benar) menjadi hukum yang berlaku.batas-batasyang besar dari kebebasan individu bisa jadi merugikan kebebasan secara umum , dalam skala luas. Kebebasan yang diberikan sebagai individu yang bebas membiarkan manusia akan begitusaja membuat peraturan, akan memangsa manusia yang lemah.
Hobbes menganggap bahwa manusia memiliki sifat egois dan licik yang akan sangat membahayakan jika dibiarkan terus menerus. Ia berpendapat bahwa dalam keadaan alamiah dan bebas, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Montesquieu, mengatakan bahwa kemerdekaan mutlak individu mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk mengancam kebebasan individu lain, sehingga harus ada pembatasan yang cukup oleh hukum dan Undang-Undang dari pemerintah.
Pada dasarnya dalam liberalisme melahirkan berbagai dengan kelemahan dan kekuatannya masing-masing.Oleh karena itu, tidak bisa kita anut secara penuh dan menyeluruh jika diterapkan di Indonesia. Nilai-nilai kebebasan, walau bagaimana pun, harus dibatasi, bukan dikekang secara tegas sesuai dengan kesepakatan nilai-nilai serta norma di Negara yang telah terbentuk akibat kultur, karena manusia hidup dalam lingkungan kemasyarakatan sebagai lingkup kecil, dan identitas bernama Negara dalam lingkup besar, sehingga kebebasan yang ia punya tidak bersinggungan dengan hak-hak yang juga dimiliki orang lain agar tercipta suatu kerukunan dan keadilan yang sebenar-benarnya.
Indonesia sendiri yang lebih menganut paham demokrasi Pancasila, yang mempunyai nilai-nilai yang luhur mengenai konsep-konsep kerja sama, kerukunan, dan gotong-royong yang menurut penulis merupakan nilai-nilai yang paling mulia dan memiliki makna “keadilan dan penghargaan hak-hak individu” dalam arti sesungguhnya oleh karena itu tidaklah cocok dengan liberalisasi di segala bidang, terutama bidang ekonomi. Di bidang ekonomi, Indonesia mempunyai ciri khas yang sangat mencerminkan kesahajaan dalam bentuk Pertanian, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).Pertanian bahkan bisa menjadi ujung tombak perekonomian dengan keadaan alam Indonesia yang sangat subur dan mendukung.
Jika kita lihat dari konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Liberalisasi di segala bidang juga amat tidak relevan dengan tujuan Negara dan pemerintah untuk membantu orang-orang terlantar dan tidak mampu untuk hidup berkecukupan serta untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia dengan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang seharusnya dipunyai oleh seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu sebagai Indonesia sebagai negara yang berdaulat tidak menjadikan segala sesuatu yang datang dari Barat sebagai anutan secara berlebihan, terlebih meniru secara menyeluruh, karena Bangsa kita tidak kalah hebat, bahkan sebenarnya jauh lebih hebat dibandingkan Negara-negara Barat tersebut. Nilai-nilai yang kita punya, yang terbentuk melalui proses yang panjang dan dilatarbelakangi oleh penyesuaian karakteristik iklim, karakteristik keadaan alam, maupun karakteristik sosiologis-kemasyarakatan, membentuk budaya, norma, dan nilai-nilai yang patut kita acungkan jempol dan tentu saja paling sesuai dengan diri kita sebagai masyarakat Indonesia.
Ideology liberalisme juga mempunyai kelemahan jika diterapkan di Indonesia, Kelemahan utama liberalisme adalah kurangnya perhatian terhadap nasib kaum miskin, buruh dan lainnya.Mereka menganggap siapa yang miskin itu yang hidupnya malas.Sangat ekstrem.Tapi anggapan itu tidak berlaku untuk kondisi Indonesia.
Jadi, penerapan liberalisme pada dasarnya tidak cocok diterapkan di Indonesia secara penuh.Indonesia sendiri dikenal dengan Negara yang selalu menggunakan system campuran. Sehingga, hal-hal yang positif dapat diikuti namun tetap merajuk pada budaya dan adat istiadat Negara kita, karena pada dasarnya manusia dilahirkan secara bebas namun norma dan adat istiadat yang masih terus dijaga oleh masyarakat Indonesia tetap mengikat kita sebagai manusia.

Teori Empat Pers

0 komentar
A. Empat Teori Pers
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi. Untuk melihat sistem-sistem sosial dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi, pada akhirnya perbedaan pada sistem pers adalah perbedaan filsafat.
1. Teori Pers Otoritarian
Muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang -orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan.
Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan.
Praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar Negara komunis.
2. Teori Pers Libertarian
Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.
3. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa.
Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab social sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :
1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.
3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.
4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,
5. Menyediakan hiburan
6. mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi , dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir.
Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa. Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media.
• Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai.
• Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai.
• Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai.
• Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi.
• Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan.


B. Kritik Terhadap Empat teori Pers
Sebenarnya terdapat pertanyaan yang menukik tajam mengenai empat teori pers yang klasik itu, apakah masih relevan empat teori pers itu dengan keadaan kekinian? Hal itu yang menjadi banyak perbincangan, perdebatan, diskusi sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh tidak kontekstual dan relevannya empat teori pers itu dengan kondisi kekinian.
Beberapa kritik datang dari beberapa pihak, salah satunya dari Buku “Last Rights: Revisiting Four Theories of The Press”. Buku ini menyimpulkan bahwa melalui deskripsi empat teori pers ini pembaca dipaksa menyimpulkan bahwa hanya kepemilikkan pribadilah yang merupakan bentuk ideal, pers tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “anjing penjaga”, pers tidak bisa lepas dari modal karena pers itu sendiri merupakan sebuah bentuk modal, dan mengutip Siebert: Bagaimana pers dapat sepenuhnya bebas dari dominasi bila dirinya sendiri merupakan bagian dari sistem bisnis dan ekonomi itu sendiri.
Beberapa kritik yang ditekankan dalam buku ini ialah mengenai aspek historis dan teoritis. Secara historis empat teori pers ini merupakan produk dari fakta yang menghubungkan antara kegiatan dengan kekuatan dalam sejarah barat, sejarah dari media barat dan sejarah dari pendidikan jurnalisme.
Dilihat dari aspek teoritis, empat teori pers ini tidak memiliki tingkat kekongkritan sejarah yang sama, tidak semua teori dalam pengertian yang sama, penyajian atas perbandingan dan perbedaan dari keempat teori pers memberikan kesan bahwa sistem pers di sebuah negara bisa didefinisikan sebagai sebuah teori pers yang terkait, empat teori pers terlalu sedikit perhatian pada konsentrasi kekuatan di dalam sektor privat. Masih terdapat kritik-kritik lainnya dalam buku ini, namun penulis menekankan pada pernyataan bahwa teori tersebut dibentuk bukan berdasarkan pemikiran melainkan sejarah. Selain itu yang penting pula untuk dicatat ialah tidak proporsionalnya pembahasan mengenai empat teori pers. Teori Libertarian dan Tanggung Jawab Sosial terasa diterangkan lebih panjang lebar dan disertai aspek historis yang konkret. Sementara Teori Otoritarian dan Komunis Sovyet kurang dijelaskan.
Mengenai pembahasan yang kurang proporsional, dapat dilihat dari latar belakang para penulisnya terutama Wilbur Schramm. Karya kolektif Schramm bersama Siebert dan Peterson ini haruslah pula dilihat konteks sejarah pembuatannya. Karya ini diterbitkan pada 1952 di mana Perang Dingin masih berkecamuk antara Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Sovyet). Kondisi yang melatari terbitnya Four Theories of The Press ini seakan menemukan peraduannya ketika ditemukan fakta yang mencengangkan tentang Schramm bahwa Schramm terlibat dalam berbagai proyek rahasia militer Amerika pada masa Perang Dingin.
Hal ini menunjukkan bahwa Schramm memiliki keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer lainnya. Pemikiran Schramm yang sarat kepentingan intelijen Amerika ini terkuak dalam sejumlah literatur mutakhir sehingga mereka yang hendak mengonsumsi teori Schramm perlu hati-hati serta kritis. Contoh literatur tersebut antara lain adalah karya Christopher Simpson “Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960” (1994). Simpson membongkar arsip-arsip intelijen Amerika dan menemukan peran besar Scramm dalam proyek-proyek rahasia intelijen. Karya lainnya adalah yang dibuat oleh Everett M. Rogers (A History of Communication Study: A Biographical Approach, New York, Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan pertahanan Amerika tersebut.
Dari sejumlah fakta yang ditemukan terdapat kecurigaan besar bahwa penulisan buku Four Theories of The Press ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan atau lawannya dalam kondisi Perang Dingin. Selain itu, Teori Pers Sovyet Komunis sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir 1980-an telah banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai sejarah saja ketimbang sebagai suatu ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari ini.[6]
Kritik lain datang dari Robert G. Picard yang mengkritik keabsahan model-model klasik tersebut dalam melihat fenomena hubungan pers dengan pemerintah pada masa dekade 1980-an. Picard menyatakan bahwa sebagai sebuah fakta, di akhir 1980-an dunia dicengangkan dengan runtuhnya ideologi komunis di Eropa Timur, sehingga praktis uraian Teori Pers Komunis yang dikemukakan oleh Schramm dalam karya kolektifnya bersama Siebert dan Peterson telah gugur dan tinggal sebagai catatan sejarah masa lalu saja.[7]
Kritik utama Picard adalah ketidakmampuan Fred Siebert dan kawan-kawan untuk menjelaskan fenomena pers di negara berkembang dan tulisannya itu sendiri ditulis oleh para peneliti yang berasal dari Amerika dan terpengaruh oleh tradisi Anglo-Amerika dan juga memiliki bias dari pengaruh demokrasi liberal.[8] William Hachten, yang dikutip Picard, membagi pers di dunia ke dalam tipologi: pers otoriter, pers komunis, pers “western”, pers revolusioner dan pers pembangunan. Istilah pers komunis dan pers otoriter dipinjam Hachten dari empat teori pers yang dikemukakan Siebert. Pers “western” merupakan penggabungan teori pers Libertarian dan Tanggung Jawab Sosial. Menurut Hachten, walaupun keduanya merupakan dua konsep yang berbeda, namun keduanya muncul di Barat dan menampilkan pola pikir Barat. Pers revolusioner adalah pers dari kelompok orang yang yakin sekali bahwa pemerintahnya tidak memenuhi kepentingan mereka dan harus digulingkan, dan bagi kelompok ini tidak ada kesetiaan pada negara.
Kritik yang lain lagi datang dari Akhmad Zaini Abar dalam skripsinya untuk meraih gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada yang berjudul “1966-1974: Kisah Pers Indonesia” dan telah diterbitkan oleh Penerbit LKiS pada 1995. Ia menolak pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawan tentang empat teori pers. Penolakan itu berdasar pada argumen bahwa di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sering terjadi inkonsistensi, atau bahkan polarisasi, antara realitas legal-formal dengan realitas empiris-aktual. Dengan kata lain telah terjadi distorsi antara aspirasi dan kehendak konstitusional, peraturan-peraturan hukum positif serta ideologi resmi negara dengan kenyataan sosial dan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jika saja mengikuti pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawannya tersebut, maka kajian yang akan kita lakukan hanya sekedar memberi gambaran realitas pers yang bersifat legal-formal daripada bersifat empiris-aktual. Artinya kajian menjadi bersifat a-historis dan normatif.
Kritik Zaini Abar ini cenderung serupa dengan Teori Pers Pembangunan atau Developmentalisme yang menekankan pada stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi agar pembangunan dapat berjalan lancar. Stabilitas nasional menjadi syarat utama dan pers merupakan institusi yang paling berpotensi untuk menciptakan suasana stabil atau sebaliknya dengan fungsinya sebagai pembentuk opini publik. Kritiknya ini diakuinya sebagai hasil derivasi dan “kreasi” penulis atas berbagai penjelasan struktural perihal problema sosial, ekonomi, dan politik di luar problema pers.
C. Sistem Pers apakah yang paling cocok berlaku di Indonesia saat ini?
Di dunia ini kita mengenal 4 macam teori pers yang berlaku. Yang pertama adalah Sistem Pers Otoriter (Otoritarian). Sistem ini dianggap sistem yang paling tua dan sejarahnya sama panjangnya dengan sejarah rezim otoriter itu sendiri. Pers pada sistem ini menempatkan media sebagai alat propaganda pemerintah. Pemerintahlah yang mengatur distribusi informasi kepada masyarakat. Media massa digunakan hanya untuk menyosialisasikan atau mendukung program-program pemerintah. Pada sistem pers ini media massa tidak boleh di privatisasi. Kedua, Sistem Pers Liberal (Libertarian). Pada sistem pers ini media massa bukan lagi menjadi alat propaganda pemerintah melainkan sebuah alat untuk mengawasi tindak tanduk pemerintah. Pers sangat bebas dari pengawasan pemerintah dan boleh di privatisasi. Sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem otoriter. Dalam sistem ini, setiap anggota masyarakat harus dapat menggunakan pers untuk menyampaikan pendapatnya, baik anggota masyarakat mayoritas ataupun minoritas, yang kuat maupun yang lemah. Ketiga adalah Sistem Pers Tanggungjawab Sosial (Social Responsibility). Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem pers liberal. Dalam sistem ini media massa harus mempunyai tanggungjawab sosial terhadap apa yang mereka ungkapkan. Mereka harus memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan dari ungkapan mereka. Sistem ini harus menggunakan dasar moral dan etika dalam setiap kegiatan jurnalistiknya. Keempat adalah Sistem Pers Komunis (Communist). Dalam sistem pers ini, media massa adalah sebagai alat propaganda yang dimiliki oleh penguasa, dalam hal ini adalah partai komunis. Tujuannya adalah menjaga masyarakat terbebas dari pengaruh-pengaruh diluar kehendak partai. Jadi sistem ini mengutamakan kepentingan partai.
Menurut saya, di Indonesia sistem yang paling cocok untuk diterapkan adalah sistem tanggungjawab sosial. Sistem ini sendiri adalah gabungan dari sistem pers libertarian dan sistem pers tanggungjawab sosial. Hal ini dapat dilihat dari segi kebebasan yang dianutnya. Sistem pers tanggungjawab sosial dan libertarian sama-sama mempunya tugas utama, yaitu membantu untuk menemukan kebenaran dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Setiap anggota masyarakat dalam kedua sistem ini sama-sama diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya, karena kedua sistem ini sangat menjamin kebebasan pers (freedom of the press) yaitu kebebasan untuk mengetahui masalah-masalah atau fakta sosial. Kedua sistem ini sangat menjamin kebebasan anggota masayarakatnya dalam mencari, mendapatkan, dan menyampaikan pendapat terhadap suatu hal melalui media massa. Kedua sistem pers ini juga sama-sama meberikan informasi dan hiburan kepada masyarakatnya. Perbedaannya adalah terletak dari bentuk kebebasan itu sendiri.
Pada sistem libertarian, pers benar-benar mempunyai kebebasan penuh tanpa harus memperhatikan nilai-nilai ataupun norma yang berlaku, dengan kata lain pers bebas memberitakan apa saja. Media massa boleh dimiliki oleh siapa saja, asal mempunyai kemampuan ekonomi untuk menggunakannya. Selagi seseorang mampu untuk mendirikan media massa maka orang tersebut boleh-boleh saja menjalankannya. Kelemahannya adalah media massa cenderung bukan menjadi sarana penyampaian informasi ataupun pendapat, melainkan menjadi sebuah komoditas bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal saja dan biasanya mereka melakukan pemberitaan, hanya membela kepentingan kelompok tertentu.
Sementara itu, sistem pers tanggungjawab sosial mengedepankan kebebasan yang bertanggungjawab. Sistem ini bergerak atas dasar moral dan etika dalam setiap kegiatannya. Sistem pers ini menggunakan standar kepatutan dan kelayakan dalam setiap pemberitaannya. Mereka akan mempertimbangkan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap pernyataan yang mereka buat. Mereka sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya, mana yang dianggap patut dan mana yang dianggap tidak patut. Sistem pers ini sangat cocok di Indonesia, mengingat betapa beragamnya bangsa Indonesia. Dengan menerapkan sistem pers ini diharapkan dapat menjaga integritas bangsa, meminimalisir persaingan usahaantar pemilik media massa, menjaga toleransi antar kelompok-kelompok masyarakat, tercipatnya diversity of ownership dan diversity of content, dan juga dapat menyangkal kritik pedas yang mengatakan bahwa kebebasan pers Indonesia adalah, kebebasan pers atau kebablasan pers?
Kita juga tidak bisa menyalahkan media massa terhadap dampak yang ditimbulkan oleh mereka sendiri. Orangtua sebagai mediasi antara anak dan media massa juga harus berperan serta dalam meminimalisir dampak yang dapat ditimbulkan. Hal yang perlu kita ketahui lagi adalah, kenapa bisa muncul acara-acara yang tidak layak seperti tersebut? Apakah memang pure ide dari sang produser tv atau berdsarkan riset yang menyebutkan bahwa pemirsa di Indonesia memang suka dengan acara-acara yang tidak layak seperti itu? Jika dilihat dari kondisi ekonomi negara kita, sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dalam garis kemiskinan. Keseharian mereka yang sangat melelahkan mencari sesuap nasi membuat mereka ingin melepas kepenatan dengan menyaksikan acara tv yang menghibur.
Kebanyakan dari mereka setelah penat seharian bekerja akan mencari acara seperti sinetron, komedi, musik, dan lain-lain. Sangat berat bagi mereka untuk menyaksikan debat politik ataupun bincang-bincang di tv yang sebenarnya sangat informatif dan merangsang intelektualitas. Makanya tidak heran stasiun tv seperti Metro TV yang programnya sangat berkelas justru ketinggalan jauh dengan stasiun tv yang mengutamakan komersialitas. Intinya, stasiun tv juga tidak dapat disalahkan. Mereka melakukan itu (menanyagkan acara-acara yang tak layak tayang) bukan karena ide mereka sendiri melainkan terinspirasi dari selera pemirsa indonesia. Untuk dapat merubah selera penonton tersebut dibutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi.
Untuk itu, jika kita ingin merubah pola hidup masyarakat yang sangat menyukai acara yang tidak layak, maka kita harus saling membangun. Membangun negara ini disegala aspek kehidupan, baik itu dibidang ekonomi, pendidikan, serta moral. Jika kita berhasil membangun masyarakat yang cerdas, saya percaya bahwa acara-acara yang tak layak tayang tersebut dengan sendirinya akan hilang dari peredaran jam tayang stasiun tv. Kalau seandainya tetap ada acara seperti itu, masyarakat telah mampu menilai dan menyaringnya, karena masyarakat sudah pada tahap media literacy atau melek media.

kajian atas UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

0 komentar
Dalam undang-undang ini mengatur penyelenggaraan penyiaran secara umum di Indonesia seperti yang dijelaskan pada pasal 2 bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hokum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tangung jawab. Begitupun dalam pasal 6 diatur mengenai penyelenggaraan yang diselenggarakan dalam suatu sistem penyiaran nasional.
Dalam penyelenggaraan penyiaran diawasi oleh sebuah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan sebuah lembaga independen Negara yang dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya diawasi oleh DPR-RI dan DPRD. Disamping itu, UU ini juga menjelaskan tugas, wewenang, serta kewajiban dari KPI serta struktur dalam lembaga penyiaran ini.serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan pelaksaanan lembaga ini.
Pada pasal 13 ayat (2) juga menjelaskan jenis lembaga penyiaran yang mengisi sistem penyiaran di Indonesia yaitu Lembaga Penyiaran Publik, Swasta, Komunitas,dan Berlangganan. Sementara lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di indonesia, sedangkan dalam peliputannya harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam menjalankan siarannya lembaga penyiaran public dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sedangkan Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas. Sementara stasiun lokal dapat didirikan dilokasi tertentu dalam wilayah NKRI dengan wilayah jangakauan yang terbatas pada lokasi tersebut dimana sebelum penyelenggaraan kegiatan lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggraan penyiaran seperti yang dijelaskan dalam pasal 33 dan pasal 34 mengenai perizinan.
Dalam pelaksanaan siarannya, lembaga penyiaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dengan bahasa pengantar utama dalam program siaran harus betbahasa indonesia yang baik dan benar, sedangkan bahasa daerah hanya digunakan dalam siaran yang bermuatan lokal untuk mendukung mata acara tersebut begitupun penggunaan bahasa asing juga diatur dalam pasal 39. Sementara isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Peran serta masyarakatpun juga diterangkan dalam BAB IV pada pasal 52.

Sanksi-sanksi yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Dalam undang-undang ini menyebutkan ada dua jenis sanksi atas pelanggaran yang dilakukan yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang dimaksud atas pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 55 (ayat 1) berupa :
a. teguran tertulis
b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. pembatasan durasi dan waktu siaran;
d. denda administratif;
e. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu
f. tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
Sedangkan sanksi pidananya berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5), Pasal 36 ayat (6).
Selain itu, ada sanksi pidana lain jika melanggar ketentuan sebagaiman yang dimaksud dalam pasal yaitu Pasal 18 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (4), Pasal 46 ayat (3) yaitu berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Disamping itu, Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

Hubungan antara demokratisasi penyiaran dengan system stasiun TV berjaringan menurut UU No. 32 Tahun 2002.
Kejatuhan Soeharto pada 1998 memang nampak memberi angin segar bagi demokratisasi penyiaran Indonesia. Kendati nampak tanpa didasari rencana jangka panjang yang jelas, Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan. Perkembangan yang lebih penting adalah ketika kelompok-kelompok sipil yang kritis terlibat dalam penyusunan UU Penyiaran yang membawa semangat demokratisasi dan desentralisasi penyiaran.
UU Penyiaran yang akhirnya lahir pada 2002 memuat pasal-pasal yang mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Pertama-tama, UU memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia. KPI, menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik.
Begitupun dengan masalah televisi berjaringan, sistem penyiaran televisi tidak lagi berpusat di Jakarta. UU Penyiaran mengusung gagasan desentralisasi penyiaran televisi, di mana tidak lagi dikenal adanya stasiun televisi nasional yang mampu menjangkau penonton di seluruh Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam sistem baru ini, tidak lagi ada stasiun televisi nasional melainkan sistem jaringan televisi secara nasional.
Berdasarkan UU ini, stasiun-stasiun televisi lokal di luar Jakarta dapat berdiri, baik sebagai stasiun independen atau menjadi bagian dari jaringan stasiun televisi nasional. Pemodal Jakarta tetap dapat mendirikan stasiun-stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia, namun mereka tidak otomatis memperoleh izin penyiaran di sebuah daeah – yang harus diperebutkan secara terbuka, termasuk dengan pemodal lokal. Di daerah di luar Jakarta, stasiun televisi besar dapat saja mendirikan sendiri stasiun televisi lokal atau memilih mencari mitra stasiun televisi lokal sebagai bagian dari jaringan mereka.
Dengan demikian, UU Penyiaran 2002 memang seperti memberi jaminan bagi demokratisasi penyiaran. Pemerintahan dipinggirkan, untuk digantikan oleh lembaga regulasi penyiaran yang mewakili kepentingan publik. Proses perolehan perizinan, yang merupakan jantung penyiaran, dibuat murah, transparan, dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Peluang bagi kolusi penguasa dan pengusaha dipersempit. Media propaganda pemerintah ditutup. Sementara, masyarakat akar rumput diberi peluang untuk mengembangkan media kecil dan murah.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun daerah, sebagai lembaga negara yang mengawal UU Penyiaran, terus berupaya mendesak pemerintah dan lembaga penyiaran swasta tidak lagi menunda sistem stasiun berjaringan. Sebab jika terus-menerus ditunda, apalagi sampai tiga kali akan menyebabkan produk undang-undang itu tidak berfungsi dan demokratisasi di bidang penyiaran menjadi terhambat. Namun, lagi-lagi industri penyiaran televisi masih meminta penundaan pemberlakuannya. Permintaannya pun bervariasi, mulai dari hitungan minggu hingga tahun. Malahan ada yang meminta ditunda satu tahun lagi.
Sistem berjaringan ini sebenarnya merupakan usaha demokratisasi di bidang penyiaran. Pasalnya, selama masa Orde Baru telah terjadi pemusatan informasi yang dikelola dari Jakarta yang dipaksakan ke seluruh Indonesia. Kenyataan itulah yang justru menafikan keberagaman bangsa. Bangsa Indonesia yang heterogen dipaksakan untuk menerima sajian televisi yang siarannya terpusat di Jakarta. Adanya siaran lokal juga berpotensi membuka lapangan kerja baru bagi warga daerah setempat untuk berkiprah di dunia penyiaran. Misalnya membangkitkan usaha di sektor rumah produksi, seniman, penulis naskah-naskah sandiwara rakyat dan budayawan dapat tersalurkan untuk berkarya dan berkreasi melalui televisi.
Televisi lokal berjaringan juga akan mendorong televisi lokal yang telah ada untuk meningkatkan kwalitas isi siarannya. Sedangkan masyarakat lokal yang selama ini kesal dan khawatir terhadap isi siaran televisi yang tidak baik dapat lebih mudah untuk menyampaikan keluhan dan kritikannya kepada lembaga penyiaran, baik melalui KPID ataupun langsung.

1. Pentingnya Opini Publik dalam Komunikasi Politik

0 komentar
Berbicara tentang opini publik maka kita harus mengkaji dulu definisi opini. Opini adalah tindakan mengungkapkan apa yang dipercayai, dinilai dan diharapkan seseorang dari objek dan situasi tertentu. Opini memiliki beberapa proses yang dikenal dengan konstruksi, yaitu :
• Konstruksi personal. Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu secara sendiri-sendiri dan subjektif.
• Konstruksi sosial. Konstruksi ini terdiri dari
- Opini kelompok. Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.
- Opini rakyat Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas seperti pemilihan umum atau hasil polling.
- Opini massa yaitu opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.
• Konstruksi politik. Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.
Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.
Ruang lingkup opini public: Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat.
Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu.
Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital” mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada.
Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.
Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja.
Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu.
Pemerintah sendiri kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi (Kelley, 1956).
Selanjutnya, dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima (Walter Lipmann, 1922).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal.
Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat.
Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit (Gerhart D. Wiebe dalam Hennessy, 1990). Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri.

Kaitan antara Komunikasi dengan Politik

0 komentar
Peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri.
Pada perkembangannya, Komunikasi juga melahirkan apa yang disebut Komunikasi Politik. Jika dilihat dari pengertian komunikasi di atas, tak heran jika ia pun sanggup merangkul studi politik. Namun, kenapa ia berada di bawah studi Komunikasi dan tidak studi Politik? Kita harus melihat karakter ilmu politik itu terlebih dahulu.
Dalam ilmu politik, karakter terkecil dari kegiatan politik biasanya terdiri dari tiga orang yang berinteraksi. Kenapa tiga orang dan bukan dua? Dalam hubungan dua orang, interaksinya bersifat langsung: “aku” berinteraksi dengan “aku kedua”. Sedangkan pada hubungan tiga orang, ia memiliki semua karakteristik yang dimiliki dua orang; dan dengan ditambahkan “aktor ketiga”, suasana menjadi lebih kompleks.
Ada lompatan jumlah nuansa ungkapan dan makna. Pada tataran ini, ada kemungkinan dua aktor akan bersekongkol melawan aktor ketiga. Politik berkembang apabila seorang aktor diberikan kesempatan untuk mewasiti dua atau lebih aktor lain; sebuah situasi dimana dua aktor dapat mengurangi kekuasaan aktor lain. Ini memperlihatkan adanya suatu hubungan yang melibatkan peran “penguasa” dan “yang dikuasai”, sekalipun tingkat interaksi itu sangat informal.
Secara interaksional, ia memang berada pada domain Komunikasi. Namun, pada saat yang sama, Komunikasi Politik telah menjembatani dua disiplin dalam ilmu sosial: komunikasi dan politik. Setiap sistem politik, sosialisasi dan perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan sebagainya dianggap bermuatan komunikasi.
Namun, meskipun disebut sedang mengalami perkembangan pesat, sesungguhnya jarang sekali ada yang menulis sebuah buku utuh tentang apa itu Komunikasi Politik, selain tulisan-tulisan pendek di berbagai koran atau jurnal. Salah satu dari kejarangan itu mungkin adalah Gabriel Almond, yang banyak menyebut istilah Komunikasi Politik dalam bukunya yang berjudul The Politics of the Development Areas (1962). Menyatunya kedua domain itu membuat media, yang perannya di masing-masing domain telah cukup sentral, menjadi amat signifikan. Kajian Komunikasi Politik kerap bersentuhan dengan media sebagai medium pengelolaan kesan. Komunikasi Politik memungkinkan adanya analisa tentang propaganda-proganda dan agitasi-agitasi akibat hubungan antara aktor-aktor politik dan aktor-aktor media; wilayah abu-abu antara politik dan media yang seharusnya memiliki garis demarkasi; atau pertukaran informasi antara pelaku dengan imbalan publisitas.
Komunikasi Politik juga berusaha memahami berbagai fenomena tentang, misalnya, apa alasan-alasan seorang pemilih untuk memilih partai politik tertentu dalam suatu pemilihan umum? Atau, apa alasan seorang pemilih untuk mengubah pilihannya dengan memilih partai politik lain?
Namun demikian, sebagai sebuah ilmu terapan, Komunikasi Politik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Sebab, jika fenomena politik hanya hendak dilihat dari kacamata interaksi, sebenarnya ia sudah cukup bisa didekati dengan Komunikasi yang mengandung banyak varian di tubuhnya, seperti dramaturgi, cultural studies, interaksionisme simbolik, etnometodologi, semiotika, dekonstruksi, ataupun agains method-nya Paul Feyerabend.
Di zaman dimana ilmu saling silang bersilang, lintas batas, zamanlah yang menentukan apakah Komunikasi Politik sebagai bagian dari ilmu pengetahuan bisa bertahan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan dan pencarian kebenaran, bukan dalam sebuah jendela dari sekian banyak jendela untuk melihat suatu realitas fisik yang tunggal, tetapi dalam sebuah dunia yang egaliter dan pluralitas yang rendah hati.
Mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri.
Dalam memahami mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun dalam lingkup international political communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas.
Dalam substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan komunikasi politik, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasive dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan politik propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik, kampanye politik, pendapat umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan dengan peran komunikasi sebagai komponen yang dominan.
Ketika kita berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah komponen dan segala sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak bahwa komunikasi politik juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi politik membelikan peluang untuk para praktisi mempelajarinya guna memperkaya khasanah keilmuan dan mempertajam daya analisis.

Kaidah-Kaidah Hukum dalam UU ITE No.11 Tahun 2008

0 komentar
Pemerintah sebagai regulator mengatur kegiatan perekonomian Indonesia, dalam hal ini kegiatan ekonomi berupa transaksi secara elektronik dengan membuat suatu kebijakan atau perangkat hukum berupa UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki tujuan antara lain :
a. Memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas usahanya.
b. Memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku usaha dan bagi konsumen.
c. Memberikan proteksi secara khusus bagi pelaku usaha nasional khususnya yang termasuk sebagai pengusaha kecil dalam menghadapi persaingan dengan pengusaha asing..
d. Melindungi kepentingan umum dari kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang tidak sehat dari para pelaku ekonomi
e. Menciptakan pemerataan pendapatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi makro.
Kaidah-kaidah hukum dalam UU ITE No.11 Tahun 2008
Hukum Ekonomi Indonesia sebagai suatu sistem juga memiliki seperangkat kaidah hukum. kaidah hukum ini diartikan sebagai landasan filosofis yang menjiwai, memayungi, mengilhami atau menghidupi substansi dari suatu peraturan hukum. Di dalam UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdiri atas kaidah-kaidah sebagai berikut :
 KAIDAH MANDIRI
1. Kaidah Perilaku
a. Bersifat melarang. Dalam UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini pemerintah sebagai regulator menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan ketika bertransaksi secara elektronik. Perbuatan yang dilarang sesuai dengan pasal pasal 27 s.d. Pasal 33
• melanggar kesusilaan, mencemarkan nama baik,
• dengan sengaja dan tanpa hak / melawan hukum mengakses sistem orang lain,
• melanggar/menerobos/menjebol sistem pengamanan, dll


b. Bersifat Perintah
Pemerintah sebagai regulator juga memberikan instruksi kepada setiap orang yang akan bertransaksi secara elektronik wajib memenuhi persyaratan. Setiap orang wajib memberikan pengamanan atas TTD elektronik sebagai mana tercantum dalam Pasal 12
c. Bersifat menghukum / sanksi
Penjatuhan sanksi atau hukuman bagi pihak yang terbukti melakukan pelanggaran dan/atau kejahatan ekonomi yang diancam oleh Undang-Undang ITE ini. Ketentuan Pidana : Pasal 45 s.d. Pasal 52 : Ketentuan Pidana, Melanggar kesusilaan, Mencemarkan nama baik, penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah
2. Kaidah Kewenangan
a. Bersifat Penunjukan. sebagaiman yang tercantum dalam pasal Pasal 43 mengenai Kewenangan Penyidik :
• Penyidik POLRI dan PNS tertentu
• Penyidikan, Penggeledahan, Penyitaan, Penangkapan, Penahanan
b. Bersifat Menata / Mengatur / Mengarahkan. Pemerintah menetapkan dan mengarahkan UU ini dalam rangka pemanfaatan teknologi dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pasal 4 tentang Tujuan dari pemanfaatan teknologi :
• Mencerdaskan kehidupan bangsa
• Mengembangkan perdagangan perekonomian nasional
• Efektifitas dan efisiensi pelayanan publik
• Kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi


 KAIDAH TIDAK MANDIRI
a. Bersifat Deklaratif/Penegasan/Pernyataan
Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik ataupun privat sebagaimana tercantum dalam Pasal 17. Salah satu bentuk pelayanan publik menggunakan teknologi (elektonik) melalui e-Government. Berdasarkan definisi dari world bank, e-Govermnent adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. Dalam prakteknya e-Goverment adalah penggunaan internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyedian pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah unuk menciptakan costumer on-line bukan in-line, e-government bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya interpensi pegawai institusi public dan system antrian. Beberapa contoh implementasi e-goverment berupa pelayanan pendaftaran warga negara antara lain pendaftaran kelahiran, dan penggantian alamat, perhitungan pajak, pendaftaran bisnis, perijinan kendaraan, dsb.
b. Bersifat Mengkualifikasi / Persyaratan
• Pasal 11 tentang Persyaratan TTD elektronik yg memiliki kekuatan hukum & akibat hukum yang sah :
• Data pembuat TTD elektronik terkait hanya kpd penanda tangan, hanya berada dalam kuasa Penanda tangan
• Ada cara tertentu untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya
• Ada cara tertentu untuk menunjukan bahwa Penanda tangan telah memberikan persetujuan
Dengan adanya kaidah mandiri dan tidak mandiri dalam Undang Undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik ini dapat diimplementasikan dalam penerapannya terhadap masyarakat yang menggunakan tekhnologi sehingga perilaku dalam pergerakan perekonomian di Indonesia.
Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdiri dari beberapa kaidah-kaidah lainnya yaitu :


a. Kaidah Kepastian Hukum
Landasan hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapat Pengakuan Hukum di dalam dan diluar pengadilan. Sebagai contoh :
Pasal 6 :
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 30 ayat (3) :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
c. Kaidah Manfaat
Kaidah bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses informasi sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat
Pasal 4 huruf d :
membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab
d. Kaidah efisiensi
Pasal 4 huruf C : meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik. Pelayanan Publik adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan dilingkungan BUMN atau BUMD, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya teknologi maka kita bisa meng efisienkan waktu. Contoh : pembayaran listrik dengan menggunakan ATM (Anjungan Tunai Mandiri ).
e. Kaidah keterbukaan / transparansi
Pasal 9 :
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang di tawarkan
Dengan adanya keharusan diatas maka perusahaan harus terbuka atas produk yang dikeluarkan atau isi kotraknya tidak boleh mengandung unsur yang merugikan konsumen. Dalam perlindungan konsumen itu dikenal dengan klausula eksonerasi dimana adanya pengalihan tanggung jawab yang seharusnya tanggung jawab pelaku usaha menjadi tanggung jawab konsumen.
f. Kaidah Persamaan Perlakuan / Non-diskriminasi
Pasal 14 :
Penyelelenggara sertifikasi elektronik harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna.
a. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penanda tangan
b. Hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat tanda tangan elektronik
c. Hal yang dapat digunakan untuk menunjukan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik.
g. Kaidah pertanggung jawaban / akuntabilitas. Pemilik, penyedia, pengguna system informasi seharusnya bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkannya.(agus riswandi)
Pasal 15 (2) : penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggara sistem elektronik
h. Kaidah kebebasan berkontrak yang terbatas
Pasal 18 ayat (1) : transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak
Pasal 19 : para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.
i. Kaidah pembangunan berkelanjutan
Pasal 4 huruf b : mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat.
j. Kaidah kemandirian yang berwawasan kebangsaan
Pasal 23 ayat (1) setiap penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki nama domain.
k. Kaidah kemitraan
Pasal 22 ayat (1) : penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya.
l. Kaidah pasar bebas yang terkendali
Pasal 23 ayat (2) : pemilik dan pengguna nama domain harus didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, tidak melanggar hak orang lain.
m. Kaidah keadilan
Pasal Pasal 46 ayat (3) setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000(delapan ratus juta rupiah)
Dengan adanya kaidah-kaidah seperti Kaidah Kepastian hukum, Kaidah Manfaat, Kaidah efisiensi, Kaidah keterbukaan / transparansi, Kaidah Persamaan Perlakuan / Non-diskriminas,i Kaidah pertanggung jawaban / akuntabilitas, Kaidah kebebasan berkontrak yang terbatas, Kaidah pembangunan berkelanjutan, Kaidah kemandirian yang berwawasan kebangsaan, Kaidah kemitraan, Kaidah pasar bebas yang terkendali, Kaidah keadilan dalam Undang Undang No 11 tahum 2008 dapat memberikan kepastian hukum kepada pengguna teknologi dalam melakukan kegiatan perekonomian ( transaksi ) secara elektronik.