Bulan Celurit Api

0 komentar


Buku ini merupakan kumpulan cerpen karya Benny Arnas. Buku yang memuat sebanyak 13 cerpen ini banyak memberikan gambaran mengenai adat dari sebuah kampung. dengan setting tempat di LubukLinggau, Sumatera Selatan. Benny Arnas mampu mentransformasikan tentang adat istiadat dari kampungnya itu.Mulai dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Lubuklinggau yang diceritakan dengan begitu lancar, seting tempat yang digarap dengan baik, sampai diksi yang terdapat dalam narasi dan dialog pun terasa kental sekali “Lubuklinggau”nya.

seperti dalam teori Kultivasi bahwa sebuah media massa akan mampu memberikan gambaran mengenai budaya dari sebuah tempat sehingga bagi siapapun akan mengetahui budaya tersebut tanpa harus berada disana secara fisik.

buku ini merupakan buku kedua yang saya baca dengan settingan pulau sumatera setelah buku Tetralogi Laskar Pelangi. Dengan lebih banyak menggunakan dialek melayu di setiap percakapan dalam cerpennya ini, Benny Arnas mampu menggunakan beragam diksi yang jarang saya jumpai dan ada di buku itu seperti saya sering mendapatkan kata-kata baru layaknya Jiran yang ternyata berarti tetangga. Meskipun agak aneh membaca sebuah cerita dengan dialek dan diksi yang jarang saya dengar. namun secara keseluruhan cerita dengan diksi sangat cocok mengambarkan Lubuklinggau secara keseluruhan.

secara pribadi, dari 13 cerpen yang ada dalam buku ini. saya sangat menyukai Percakapan Pengantin, Malam Rajam, serta Sajak-sajak yang mengantarmu pulang.Namun, ini hanyalah pandangan subyektif semata.

0 komentar

Belajar tersenyum....:)

0 komentar
Banyak orang yang mengalami kesedihan, tertimpa awan kegelisahan, dan merasakan tekanan depresi dalam kehidupan.Namun, jangan tanyakan kemana senyumnya saat itu, keindahan tawa dan manis humornya.
Seandainya mereka berani jujur, minimal pada dirinya sendiri. Tentunya kesedihan, kegelisahan, hingga tekanan-tekanan tersebut tentu takkan berani mendatanginya memberikan senyuman kesusahan. Dimana semua hal itu terkadang menimbulkan penyakit pada diri mereka sendiri. Jika kembali diri berani jujur, tentu obat-obat yang ada di apotik yang buka 24 jam itu tak berguna, dimana satu tawa itu lebih baik seribu kali dibandingan dengan aspirin maupun pil penenang. Semuanya bisa diobati dengan tertawa, hal ini menunjukkan adanya keikhlasan dalam diri menerimanya, tentunya dengan diimbangi dengan pikiran yang positif dalam diri.
Maka tersenyumlah, banyak yang menjadikan senyuman sebagai tanda peradaban bangsa, cermin ketinggian pada penghargaan dirinya, tanda yang juga mencerminkan tingkatannya sesuai dengan cara ia berpikir yang juga merefleksikan hati seseorang yang ikhlas dan berpikiran positif,serta mungkin saja mencerminkan akhlak seseorang yang baik. Bagaimana tidak, tersenyum merupakan anjuran bagi seorang muslim ketika bertemu dengan sesama muslim. Banyak pemikir yang beranggapan bahwa senyuman adalah salah satu sebab yang paling kuat yang mendorong manusia agar lebih efektif dan produktif.
Bahkan terkadang, diri kita sendiri selalu berpindah-pindah mencari tempat untuk mengecap aroma tawa dan terbang pada langit yang dibawa oleh angin senyuman. Saat itu adalah detik-detik yang penuh senyuman yang sudah sepantasanya kita nikmati. Kita akan merasa seolah hidup bersama para humoris yang tertawa dan mengundang tawa, yang baik hati, yang pikirannya jernih bersama humor-humornya, serta bersama lelucon mereka yang menyenangkan. Apalagi dengan nilai sastra yang dikandungnya dan makna-makna pendidikan.
Jika dalam senyum dan tawa hanya ada perasaan bahwa kesulitan dan kesedihan telah terhapus, biarkan perasaan itu tertanam dalam hati walaupun sejenak, meskipun hanya dalam waktu yang singkat dan momen yang tak lama, maka itu saja yang menunjukkan pentingnya kita tersenyum dan itu yang akan kau rasakan jika sedang berjibaku dengan mereka.
Meluculah….sehingga seolah kau mengirimkan kebahagian pada kami. Dan jadilah seperti itu selamanya jika kau ingin tersenyum. Ambillah kehidupan sebagaimana ia datang tersenyum lewat tangisan kecilmu saat kau lahir, di tapaknya ada kebaikan ataupun tidak ada”.

FILSAFAT DAN TEOLOGI

0 komentar
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah "theologia". Istilah yang berasal dari gabungan dua kata "theos, Allah" dan "logos, logika". Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut "theologoi". Syair mereka yang menceritakan tentang para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam "teologi mistis". Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki pandangan "teologi natural atau rasional", yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah "filsafat teologi", sebutan yang merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tata nilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada siapa aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
Meski dalam hal-hal tertentu terjadi hubungan timbal balik yang cukup baik antara teologi dan filsafat, bukan berarti keduanya bisa terus berjalan harmonis. Yang sering muncul justru perbedaan-perbedaan, ketegangan dan pertentangan, bahkan itu terjadi sejak awal. Setidaknya ini bisa dilihat pada perdebatan antara antara Abu Sa`id al-Syirafi (893-979 M) seorang teolog Muktazilah dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), guru filsafat al-Farabi yang beraliran Nestorian, sebagaimana yang dikemukakan Oliver Leaman, adalah bukti nyata akan hal itu, meski isi perdebatan tersebut sebenarnya baru menyangkut persoalan bahasa dan logika.
Ketegangan teologi dan filsafat semakin kentara dan menonjol ketika pada masa al-Farabi yang ahli filsafat paripatetik menempatkan teologi (juga yurisprodensi) pada rangking bawah setelah ilmu-ilmu filsafat, dalam hierarki ilmu yang disusunnya. Al-Farabi menyusun hierarki ilmunya terdiri atas ilmu-ilmu filsafat; metafisika, matematika, ilmu-ilmu fisika /kealaman dan ilmu politik. Teologi dan fiqh ditempatkan dalam urutan paling bawah dan sebagai su-bagian ilmu politik. Alasannya, secara metodologis, pengambilan kesimpulan teologi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar dan teruji secara rasional, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan. Atau, menurut al-Farabi, teologi tidak bisa memberi pengetahuan yang menyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan, sehingga ia hanya cocok untuk konsumsi masyarakat awam, masyarakat non-filosofis dan bukan selainnya.
Penempatan posisi dan serangan yang dilakukan al-Farabi sebagai ahli filsafat terhadap teologi ini memberikan dampak serius bagi perkembangan kedua kelompok pemikiran diatas, minimal telah menaikan pamor filsafat dalam percaturan pemikiran Islam yang sebelumnya masih dicurigai dan diabaikan. Kenyataannya, klasifikasi dan hierarki ilmu al-Farabi ini banyak dianut dan berpengaruh besar pada tokoh filsafat berikutnya, seperti Ibn Sina (980-1037 M), Ibn Tufail (w. 1186 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldun (1332-1406). Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu menjadi dua bagian; ilmu-ilmu rasional (al-`ulûm al-aqliyah) dan ilmu-ilmu religius (al-`ulûm al-naqliyah). Yang termasuk ilmu rasional adalah logika, matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian ilmu religius adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, teologi, tasawuf dan tabir mimpi. Disini, teologi hanya lebih baik daripada tabir mimpi dan tasawuf dimana yang disebut dua terakhir ini lebih merupakan bentuk keahlian dan implementasi daripada sebuah ilmu.
Puncak ketegangan teologi dan filsafat terjadi pada masa al-Ghazali (1058-1111 M), yakni ketika ia sebagai wakil kaum teolog (mutakallimîn) menyerang pemikiran filsafat, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifat yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl. Meski isi serangan tersebut lebih diarahkan pada persoalan metafisika daripada logika, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam penjabaran ajaran-ajaran agama, bahkan bidikan al-Ghazali sebenarnya lebih tepat diarahkan pada pemikiran filsafat Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM), bukan metafisika Islam sendiri, sehingga tuduhannya terhadap pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina tidak tepat, tetapi serangan tersebut telah memberikan dampak dan gaung yang demikian besar dalam soal hubungan teologi dan filsafat. Masyarakat muslim menjadi antipati terhadap pemikiran filsafat.

Jenis-jenis Lead

0 komentar
1. Lead Ringkasan
Lead ini hampir sama saja dengan berita biasa, yang ditulis adalah inti ceritanya. Banyak penulis feature menulis lead gaya ini karena gampang.
Misal:
Gempa bumi berkekuatan 7,6 pada skala Richter mengguncang ranah minang,kamis (1/10). Bencana alam tersebut telah meruntuhkan ratusan gedung termasuk sejumlah sekolah dan membuat Pariaman terisolasi….
2. Lead Bercerita
Lead ini menciptakan suatu suasana dan membenamkan pembaca seperti ikut jadi tokohnya.
Misal:
Sejak sore, Ibu Nurmi dan suaminya mencari daun pandan di daerah mandai sebagai bahan utama untuk membuat ketupat yang merupakan penghasilan utama keluarganya
3. Lead Deskriptif
Lead ini menceritakan gambaran dalam pembaca tentang suatu tokoh atau suatu kejadian. Biasanya disenangi oleh penulis yang hendak menulis profil seseorang.
Misal:
Dalam ruangan sekian meter kali sekian meter itu terlihat seorang wanita paruh baya yang tengah mendiktekan sesuatu kepada beberapa anak laki-laki dan perempuan yang duduk berjejer rapi sambil menyimak kata-kata yang diucapkan oleh wanita tersebut…..
4. Lead Kutipan
Lead ini bisa menarik jika kutipannya harus memusatkan diri pada inti cerita berikutnya. Dan tidak klise.
Misal:
“ Saya punya Istri dan Ibu Sri Mulyani sudah punya suami, tidak mungkin saya suka dia” Ujar Aburizal Bakrie saat ditanyai tentang ketidaksukaannya dengan Sri Mulyani terkait kinerja menteri Keuangan terhadap kasus Bank Century.

5. Lead Pertanyaan
Lead ini menantang rasa ingin tahu pembaca, asal dipergunakan dengan tepat dan pertanyaannya wajar saja. Lead begini sebaiknya satu alinea dan satu kalimat, dan kalimat berikutnya sudah alinea baru.
Misal:
Bagaimana pendidikan di negeri kita ini?apakah program yang dijalankan pemerintah telah berada pada jalur yang benar?
6. Lead Menuding
Lead ini berusaha berkomunikasi langsung dengan pembaca dan ciri-cirinya adalah ada kata “Anda” atau “Saudara”. Pembaca sengaja dibawa untuk menjadi bagian cerita, walau pembaca itu tidak terlibat pada persoalan.
Misal:
Anda mungkin sering mendapati orang-orang yang mencari rezeki dengan mengais sampah di jalanan, apa yang ada dalam pikiran anda?jijik?mereka sehari-hari bekerja bergelut dengan sampah tanpa ada rasa jijik sama sekali, mereka rela mencari apa saja yang masih punya nilai jual yang akan mereka jual di pengepul. Dst….
7. Lead Penggoda
Lead ini hanya sekadar menggoda dengan sedikit bergurau. Tujuannya untuk menggaet pembaca agar secara tidak sadar dijebak ke baris berikutnya. Lead ini juga tidak memberi tahu, cerita apa yang disuguhkan karena masih teka teki.
Misal:
Ia terus mangayuh roda kehidupannya, menyusuri jalan-jalan demi sesuap nasi bagi keluarganya.
8. Lead Nyentrik
Lead ini nyentrik, ekstrim, bisa berbentuk puisi atau sepotong kata-kata pendek. Hanya baik jika seluruh cerita bergaya lincah dan hidup cara penyajiannya.
Misal:
Gas melejit
Ibu-ibu menjerit
Solar melejit
Nelayan menjerit
Jeritan itu mungkin tidak akan pernah dirasakan bagi orang-orang kaya jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM.
9. Lead Gabungan
Ini adalah gabungan dari beberapa jenis lead tadi.
Misal:
Isu yang menyebutkan Aburizal bakrie yang sangat tidak suka dengan kinerja menteri keuangan saat ini, dijawab santai oleh Sri Mulyani “Saya bekerja sesuai Undang-Undang, kalau ada yang tidak suka tanyakan pada mereka” kata Sri Mulyani sambil berjalan menuju ruang rapat. Ia tetap tersenyum cerah sambil menolak menjawab pertanyaan wartawan. Menanggapi hal ini Aburizal Bakrie memberikan pernyataannya “ Saya punya Istri dan Ibu Sri Mulyani sudah punya suami, tidak mungkin saya suka dia” uangkapnya dengan senyum yang menyunggging di ujung bibirnya.

Kapitalisme dan Liberalisme dalam pendekatan Komunikasi

0 komentar
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. jadi, inti dari kapitalisme itu sendiri adalah bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Liberalisme berkembang sejalan dengan Kapitalisme. Perbedaannya, Kapitalisme berdasarkan determinisme Ekonomi, sementara Liberalisme tidak semata didasarkan pada ekonomi melainkan juga filsafat, agama, dan kemanusiaan. J. Salwyn Schapiro menyatakan bahwa Liberalisme adalah “… perilaku berpikir terhadap masalah hidup dan kehidupan yang menekankan pada nilai-nilai kemerdekaan individu, minoritas, dan bangsa.”
Bidang komunikasi mencakup semua aspek baik itu politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal itupun dapat dikaitkan dengan kedua ideology di atas yaitu Kapitalisme dan Liberalisme. Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan social dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada system-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran.
Seperti yang dijelaskan dalam teori Libertarian yang dikemukakan oleh Siebert, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Di era sekarangpun, Media atau Pers sering dikaitkan dengan Kapitalisme dimana lebih mementingkan sisi komersialisasi dari sebuah Berita atau acara di sebuah stasiun televisi dimana, isi dari media tersebut sudah dianggap telah melenceng dari tugais dan fungsinya masing-masing dimana fungsi Pendidikan adalah hal yang utama. Melihat tayangan Hiburan yang semakin merajalela yang menjadi andalan siaran-siaran televisi tanpa melihat sisi edukatif dari sebuah tayangan bagi masyarakat.
Seyogyanya sebuah kebebasan yang selalu diharapkan oleh Pers atau Media harus diimbagi oleh rasa tanggung jawab sepenuhnya bagi masyarakat.

Manajemen Dalam Pelaksanaan Media Penyiaran

0 komentar
Mengelola bisnis media penyiaran merupakan salah satu bisnis yang paling sulit dan paling menantang dibandingkan dengan jenis industri lainnya. Mengelola media penyiaran pada dasarnya adalah mengelola manusia. Keberhasilan media penyiaran sejatinya ditopang oleh kreativitas manusia yang bekerja pada tiga pilar utama yang merupakan fungsi vital yang dimiliki setiap media penyiaran yaitu teknik, program dan pemasaran.
Keberhasilan media penyiaran bergantung pada bagaimana kualitas orang-orang yang bekerja pada ketiga bidang tersebut. Namun demikian, kualitas manusia saja tidak cukup jika tidak disertai dengan kemampuan pimpinan media penyiaran bersangkutan mengelola sumber daya manusia yang ada. Karena alasan inilah manajemen yang baik mutlak diperlukan pada media penyiaran.
Mengelola suatu media penyiaran memberikan tantangan yang tidak mudah kepada pengelolanya, sebagaimana ditegaskan Peter Pringle “Few management position offers challenges equal to those of managing a commercial radio or television station “(tidak banyak posisi manajemen yang memberikan tantangan yang setara dengan mengelola suatu stasiun radio dan televisi lokal).
Tantangan yang harus dihadapi manajemen media penyiaran disebabkan oleh dua hal. Pertama, sebagaimana perusahaan lainnya, media penyiaran dalam kegiatan operasionalnya harus dapat memenuhi harapan pemilik dan pemegang saham untuk menjadi perusahaan yang sehat dan mampu menghasilkan keuntungan. Namun di pihak lain, sebagai tantangan kedua, media penyiaran harus mampu memenuhi kepentingan masyarakat (komunitas) dimana media bersangkutan berada, sebagai ketentuan yang harus dipenuhi ketika media penyiaran bersangkutan menerima izin siaran (lisensi) yang diberikan negara.
Dengan demikian, upaya untuk menyeimbangkan antara memenuhi kepentingan pemilik dan kepentingan masyarakat memberikan tantangan tersendiri kepada pihak manajemen media penyiaran. Media penyiaran pada dasarnya harus mampu melaksanakan berbagai fungsi yaitu antara lain fungsinya sebagai media untuk beriklan, media hiburan, media informasi dan media pelayanan. Untuk mampu melaksanakan seluruh fungsi tersebut sekaligus dapat memenuhi kepentingan pemasang iklan, audien serta pemilik dan karyawan merupakan tantangan tersendiri bagi manajemen. Corak produksi (mode of production) dalam manajemen media yang mengabdi kepada kepentingan modal akan menjadikan pemberhalaan terhadap rating dan iklan, sehingga selera pasar yang kemudian diikuti. Merebaknya genre tayangan berita infotainment adalah fenomena yang bisa menjadi penjelasan atas konsekuensi ini.
Pengelola stasiun penyiaran sering membuat kesalahan yaitu memulai kegiatan dan membuat keputusan tanpa menetapkan tujuan terlebih dahulu. Tujuan adalah suatu hasil akhir, titik akhir atau segala sesuatu yang akan dicapai. Setiap tujuan kegiatan dapat juga disebut dengan sasaran (goal) atau target.
Tantangan lainnya berasal dari persaingan yang berasal dari berbagai media penyiaran yang ada. Berbagai stasiun radio dan televisi saling bersaing secara langsung untuk mendapatkan sebanyak mungkin pemasang iklan dan audience. Selain persaingan secara langsung dengan media penyiaran lainnya, stasiun radio dan televisi juga harus bersaing dengan jenis media massa lainnya seperti televisi kabel, Internet, ataupun jenis new media lainnya.
Sebagaimana organisasi atau perusahaan lain, media penyiaran menggunakan manajemen dalam menjalankan kegiatannya, dan setiap orang yang mempunyai tanggungjawab atas bawahan dan sumber daya organisasi lainnya dengan menjalankan fungsi manajemen disebut dengan manajer . Pada dasarnya, manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan menjadi lebih sulit.
Kita mungkin sangat sering mendengar kata ‘manajemen’ namun jika seseorang ditanya mengenai apakah manajemen itu, maka jawabannya bisa sangat beragam. Hal ini tidak mengherankan karena tanggung jawab yang tercakup dalam manajemen bisa sangat beragam dan sekaligus kompleks.
Maksud penetapan tujuan pada media penyiaran adalah agar terdapat koordinasi dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh departemen dan individu dengan tujuan utama media penyiaran. Pada saat tujuan media penyiaran ditetapkan maka tujuan dari berbagai departemen dan tujuan personal yang bekerja pada departemen bersangkutan dapat direncanakan dan dikembangkan. Tujuan individu harus memberikan kontribusinya pada pencapaian tujuan departemen yang pada gilirannya tujuan departemen harus sesuai pula dengan tujuan departemen lainnya dan juga tujuan umum media penyiaran bersangkutan.
Sebagai tambahan, seluruh tujuan harus dapat dicapai, terukur, memiliki tenggat waktu (deadline) serta dapat diawasi. Sekali tujuan ditetapkan maka rencana atau strategi dapat disusun untuk mencapainya. Skema berikut ini menunjukkan bahwa hanya setelah misi dasar ditetapkan maka tujuan, strategi, program, kebijakan dan rencana dapat ditetapkan.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam perdebatan teoritis dalam manajemn media, ada baiknya kita mengurai dulu tentang kepemilikan media (media ownership). Manajemen media tentu tidak lepas dari pemilik media bersangkutan. Berdasarkan kepemilikannya, media dapat dibagi dalam tiga bagian besar. Pertama, not-for-profit media organization. Media yang dikelola dalam manajemen model ini umumnya diorganisir atas dasar non profit oleh kelompok kepentingan seperti kelompok perempuan, etnis dsb. Media seperti ini lebih memiliki kebebasan dalam editorial dan isi, sehingga peran pekerja media sebagai agency, jika melihat manajemen media dalam teori strukturasi, menjadi lebih besar. Pekerja media relatif lebih bebas dan leluasa mengartikulasikan ide-idenya.
Model manajemen media seperti ini yang ideal dalam kerangka membangun ruang publik, karena dengan model manajemen media seperti ini berbagai isu dan wacana dapat saling dibenturkan secara bebas. Persoalannya adalah media dengan model kepemilikan seperti ini terbatas secara kuantitas dan kualitas. Jumlah yang terbatas dan kemampuan bersaing dengan media yang berorientasi pada penumpukan laba adalah persoalan yang harus dihadapi oleh media dengan model kepemilikan seperti ini. Belum lagi kualitas dari manajemen medianya yang terbilang ketinggalan dengan media yang dimiliki oleh swasta.
Kedua adalah organisasi media yang dimiliki oleh negara atau public (public/state owned media organizations). Model kepemilikan organisasi media seperti ini mendudukan kontrol negara dalam posisi yang vital. Manajemen media dalam model kepemilikan seperti ini memainkan peran menjadikan media sebagai alat penanam ideologi negara dan hegemoni, sebuah fenomena sosial yang banyak dijumpai di negara komunis. Sedangkan public owned media mengindikasikan media digunakan untuk kepentingan publik, dengan dibiayai pajak langsung maupun tidak langsung, yang biasanya berfokus pada berita dan dokumenter seperti BBC di Inggris.
Terakhir adalah organisasi media yang dimiliki oleh swasta (privately owned media organizations). Model kepemilikan media ini mengindikasikan bahwa media dimiliki swasta, dikontrol oleh individu, keluarga, pemegang saham maupun holding company. Model kepemilikan yang terakhir inilah yang saat ini secara telak mendominasi, sehingga manajemen media pun tidak lepas dari kepentingan pemilik modal, sebagaimana yang dikemukakan penganut teori neo Marxisme namun dibantah oleh para penganut teori strukturasi yang mendudukan pekerja media dalam manajemen media sebagai pihak yang memiliki daya tawar terhadap manajemen dan pemilik media.