Teori Empat Pers

0 komentar
A. Empat Teori Pers
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi. Untuk melihat sistem-sistem sosial dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi, pada akhirnya perbedaan pada sistem pers adalah perbedaan filsafat.
1. Teori Pers Otoritarian
Muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang -orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan.
Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan.
Praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar Negara komunis.
2. Teori Pers Libertarian
Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.
3. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa.
Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab social sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :
1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.
3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.
4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,
5. Menyediakan hiburan
6. mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi , dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir.
Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa. Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media.
• Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai.
• Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai.
• Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai.
• Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi.
• Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan.


B. Kritik Terhadap Empat teori Pers
Sebenarnya terdapat pertanyaan yang menukik tajam mengenai empat teori pers yang klasik itu, apakah masih relevan empat teori pers itu dengan keadaan kekinian? Hal itu yang menjadi banyak perbincangan, perdebatan, diskusi sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh tidak kontekstual dan relevannya empat teori pers itu dengan kondisi kekinian.
Beberapa kritik datang dari beberapa pihak, salah satunya dari Buku “Last Rights: Revisiting Four Theories of The Press”. Buku ini menyimpulkan bahwa melalui deskripsi empat teori pers ini pembaca dipaksa menyimpulkan bahwa hanya kepemilikkan pribadilah yang merupakan bentuk ideal, pers tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “anjing penjaga”, pers tidak bisa lepas dari modal karena pers itu sendiri merupakan sebuah bentuk modal, dan mengutip Siebert: Bagaimana pers dapat sepenuhnya bebas dari dominasi bila dirinya sendiri merupakan bagian dari sistem bisnis dan ekonomi itu sendiri.
Beberapa kritik yang ditekankan dalam buku ini ialah mengenai aspek historis dan teoritis. Secara historis empat teori pers ini merupakan produk dari fakta yang menghubungkan antara kegiatan dengan kekuatan dalam sejarah barat, sejarah dari media barat dan sejarah dari pendidikan jurnalisme.
Dilihat dari aspek teoritis, empat teori pers ini tidak memiliki tingkat kekongkritan sejarah yang sama, tidak semua teori dalam pengertian yang sama, penyajian atas perbandingan dan perbedaan dari keempat teori pers memberikan kesan bahwa sistem pers di sebuah negara bisa didefinisikan sebagai sebuah teori pers yang terkait, empat teori pers terlalu sedikit perhatian pada konsentrasi kekuatan di dalam sektor privat. Masih terdapat kritik-kritik lainnya dalam buku ini, namun penulis menekankan pada pernyataan bahwa teori tersebut dibentuk bukan berdasarkan pemikiran melainkan sejarah. Selain itu yang penting pula untuk dicatat ialah tidak proporsionalnya pembahasan mengenai empat teori pers. Teori Libertarian dan Tanggung Jawab Sosial terasa diterangkan lebih panjang lebar dan disertai aspek historis yang konkret. Sementara Teori Otoritarian dan Komunis Sovyet kurang dijelaskan.
Mengenai pembahasan yang kurang proporsional, dapat dilihat dari latar belakang para penulisnya terutama Wilbur Schramm. Karya kolektif Schramm bersama Siebert dan Peterson ini haruslah pula dilihat konteks sejarah pembuatannya. Karya ini diterbitkan pada 1952 di mana Perang Dingin masih berkecamuk antara Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Sovyet). Kondisi yang melatari terbitnya Four Theories of The Press ini seakan menemukan peraduannya ketika ditemukan fakta yang mencengangkan tentang Schramm bahwa Schramm terlibat dalam berbagai proyek rahasia militer Amerika pada masa Perang Dingin.
Hal ini menunjukkan bahwa Schramm memiliki keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer lainnya. Pemikiran Schramm yang sarat kepentingan intelijen Amerika ini terkuak dalam sejumlah literatur mutakhir sehingga mereka yang hendak mengonsumsi teori Schramm perlu hati-hati serta kritis. Contoh literatur tersebut antara lain adalah karya Christopher Simpson “Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960” (1994). Simpson membongkar arsip-arsip intelijen Amerika dan menemukan peran besar Scramm dalam proyek-proyek rahasia intelijen. Karya lainnya adalah yang dibuat oleh Everett M. Rogers (A History of Communication Study: A Biographical Approach, New York, Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan pertahanan Amerika tersebut.
Dari sejumlah fakta yang ditemukan terdapat kecurigaan besar bahwa penulisan buku Four Theories of The Press ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan atau lawannya dalam kondisi Perang Dingin. Selain itu, Teori Pers Sovyet Komunis sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir 1980-an telah banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai sejarah saja ketimbang sebagai suatu ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari ini.[6]
Kritik lain datang dari Robert G. Picard yang mengkritik keabsahan model-model klasik tersebut dalam melihat fenomena hubungan pers dengan pemerintah pada masa dekade 1980-an. Picard menyatakan bahwa sebagai sebuah fakta, di akhir 1980-an dunia dicengangkan dengan runtuhnya ideologi komunis di Eropa Timur, sehingga praktis uraian Teori Pers Komunis yang dikemukakan oleh Schramm dalam karya kolektifnya bersama Siebert dan Peterson telah gugur dan tinggal sebagai catatan sejarah masa lalu saja.[7]
Kritik utama Picard adalah ketidakmampuan Fred Siebert dan kawan-kawan untuk menjelaskan fenomena pers di negara berkembang dan tulisannya itu sendiri ditulis oleh para peneliti yang berasal dari Amerika dan terpengaruh oleh tradisi Anglo-Amerika dan juga memiliki bias dari pengaruh demokrasi liberal.[8] William Hachten, yang dikutip Picard, membagi pers di dunia ke dalam tipologi: pers otoriter, pers komunis, pers “western”, pers revolusioner dan pers pembangunan. Istilah pers komunis dan pers otoriter dipinjam Hachten dari empat teori pers yang dikemukakan Siebert. Pers “western” merupakan penggabungan teori pers Libertarian dan Tanggung Jawab Sosial. Menurut Hachten, walaupun keduanya merupakan dua konsep yang berbeda, namun keduanya muncul di Barat dan menampilkan pola pikir Barat. Pers revolusioner adalah pers dari kelompok orang yang yakin sekali bahwa pemerintahnya tidak memenuhi kepentingan mereka dan harus digulingkan, dan bagi kelompok ini tidak ada kesetiaan pada negara.
Kritik yang lain lagi datang dari Akhmad Zaini Abar dalam skripsinya untuk meraih gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada yang berjudul “1966-1974: Kisah Pers Indonesia” dan telah diterbitkan oleh Penerbit LKiS pada 1995. Ia menolak pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawan tentang empat teori pers. Penolakan itu berdasar pada argumen bahwa di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sering terjadi inkonsistensi, atau bahkan polarisasi, antara realitas legal-formal dengan realitas empiris-aktual. Dengan kata lain telah terjadi distorsi antara aspirasi dan kehendak konstitusional, peraturan-peraturan hukum positif serta ideologi resmi negara dengan kenyataan sosial dan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jika saja mengikuti pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawannya tersebut, maka kajian yang akan kita lakukan hanya sekedar memberi gambaran realitas pers yang bersifat legal-formal daripada bersifat empiris-aktual. Artinya kajian menjadi bersifat a-historis dan normatif.
Kritik Zaini Abar ini cenderung serupa dengan Teori Pers Pembangunan atau Developmentalisme yang menekankan pada stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi agar pembangunan dapat berjalan lancar. Stabilitas nasional menjadi syarat utama dan pers merupakan institusi yang paling berpotensi untuk menciptakan suasana stabil atau sebaliknya dengan fungsinya sebagai pembentuk opini publik. Kritiknya ini diakuinya sebagai hasil derivasi dan “kreasi” penulis atas berbagai penjelasan struktural perihal problema sosial, ekonomi, dan politik di luar problema pers.
C. Sistem Pers apakah yang paling cocok berlaku di Indonesia saat ini?
Di dunia ini kita mengenal 4 macam teori pers yang berlaku. Yang pertama adalah Sistem Pers Otoriter (Otoritarian). Sistem ini dianggap sistem yang paling tua dan sejarahnya sama panjangnya dengan sejarah rezim otoriter itu sendiri. Pers pada sistem ini menempatkan media sebagai alat propaganda pemerintah. Pemerintahlah yang mengatur distribusi informasi kepada masyarakat. Media massa digunakan hanya untuk menyosialisasikan atau mendukung program-program pemerintah. Pada sistem pers ini media massa tidak boleh di privatisasi. Kedua, Sistem Pers Liberal (Libertarian). Pada sistem pers ini media massa bukan lagi menjadi alat propaganda pemerintah melainkan sebuah alat untuk mengawasi tindak tanduk pemerintah. Pers sangat bebas dari pengawasan pemerintah dan boleh di privatisasi. Sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem otoriter. Dalam sistem ini, setiap anggota masyarakat harus dapat menggunakan pers untuk menyampaikan pendapatnya, baik anggota masyarakat mayoritas ataupun minoritas, yang kuat maupun yang lemah. Ketiga adalah Sistem Pers Tanggungjawab Sosial (Social Responsibility). Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem pers liberal. Dalam sistem ini media massa harus mempunyai tanggungjawab sosial terhadap apa yang mereka ungkapkan. Mereka harus memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan dari ungkapan mereka. Sistem ini harus menggunakan dasar moral dan etika dalam setiap kegiatan jurnalistiknya. Keempat adalah Sistem Pers Komunis (Communist). Dalam sistem pers ini, media massa adalah sebagai alat propaganda yang dimiliki oleh penguasa, dalam hal ini adalah partai komunis. Tujuannya adalah menjaga masyarakat terbebas dari pengaruh-pengaruh diluar kehendak partai. Jadi sistem ini mengutamakan kepentingan partai.
Menurut saya, di Indonesia sistem yang paling cocok untuk diterapkan adalah sistem tanggungjawab sosial. Sistem ini sendiri adalah gabungan dari sistem pers libertarian dan sistem pers tanggungjawab sosial. Hal ini dapat dilihat dari segi kebebasan yang dianutnya. Sistem pers tanggungjawab sosial dan libertarian sama-sama mempunya tugas utama, yaitu membantu untuk menemukan kebenaran dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Setiap anggota masyarakat dalam kedua sistem ini sama-sama diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya, karena kedua sistem ini sangat menjamin kebebasan pers (freedom of the press) yaitu kebebasan untuk mengetahui masalah-masalah atau fakta sosial. Kedua sistem ini sangat menjamin kebebasan anggota masayarakatnya dalam mencari, mendapatkan, dan menyampaikan pendapat terhadap suatu hal melalui media massa. Kedua sistem pers ini juga sama-sama meberikan informasi dan hiburan kepada masyarakatnya. Perbedaannya adalah terletak dari bentuk kebebasan itu sendiri.
Pada sistem libertarian, pers benar-benar mempunyai kebebasan penuh tanpa harus memperhatikan nilai-nilai ataupun norma yang berlaku, dengan kata lain pers bebas memberitakan apa saja. Media massa boleh dimiliki oleh siapa saja, asal mempunyai kemampuan ekonomi untuk menggunakannya. Selagi seseorang mampu untuk mendirikan media massa maka orang tersebut boleh-boleh saja menjalankannya. Kelemahannya adalah media massa cenderung bukan menjadi sarana penyampaian informasi ataupun pendapat, melainkan menjadi sebuah komoditas bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal saja dan biasanya mereka melakukan pemberitaan, hanya membela kepentingan kelompok tertentu.
Sementara itu, sistem pers tanggungjawab sosial mengedepankan kebebasan yang bertanggungjawab. Sistem ini bergerak atas dasar moral dan etika dalam setiap kegiatannya. Sistem pers ini menggunakan standar kepatutan dan kelayakan dalam setiap pemberitaannya. Mereka akan mempertimbangkan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap pernyataan yang mereka buat. Mereka sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya, mana yang dianggap patut dan mana yang dianggap tidak patut. Sistem pers ini sangat cocok di Indonesia, mengingat betapa beragamnya bangsa Indonesia. Dengan menerapkan sistem pers ini diharapkan dapat menjaga integritas bangsa, meminimalisir persaingan usahaantar pemilik media massa, menjaga toleransi antar kelompok-kelompok masyarakat, tercipatnya diversity of ownership dan diversity of content, dan juga dapat menyangkal kritik pedas yang mengatakan bahwa kebebasan pers Indonesia adalah, kebebasan pers atau kebablasan pers?
Kita juga tidak bisa menyalahkan media massa terhadap dampak yang ditimbulkan oleh mereka sendiri. Orangtua sebagai mediasi antara anak dan media massa juga harus berperan serta dalam meminimalisir dampak yang dapat ditimbulkan. Hal yang perlu kita ketahui lagi adalah, kenapa bisa muncul acara-acara yang tidak layak seperti tersebut? Apakah memang pure ide dari sang produser tv atau berdsarkan riset yang menyebutkan bahwa pemirsa di Indonesia memang suka dengan acara-acara yang tidak layak seperti itu? Jika dilihat dari kondisi ekonomi negara kita, sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dalam garis kemiskinan. Keseharian mereka yang sangat melelahkan mencari sesuap nasi membuat mereka ingin melepas kepenatan dengan menyaksikan acara tv yang menghibur.
Kebanyakan dari mereka setelah penat seharian bekerja akan mencari acara seperti sinetron, komedi, musik, dan lain-lain. Sangat berat bagi mereka untuk menyaksikan debat politik ataupun bincang-bincang di tv yang sebenarnya sangat informatif dan merangsang intelektualitas. Makanya tidak heran stasiun tv seperti Metro TV yang programnya sangat berkelas justru ketinggalan jauh dengan stasiun tv yang mengutamakan komersialitas. Intinya, stasiun tv juga tidak dapat disalahkan. Mereka melakukan itu (menanyagkan acara-acara yang tak layak tayang) bukan karena ide mereka sendiri melainkan terinspirasi dari selera pemirsa indonesia. Untuk dapat merubah selera penonton tersebut dibutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi.
Untuk itu, jika kita ingin merubah pola hidup masyarakat yang sangat menyukai acara yang tidak layak, maka kita harus saling membangun. Membangun negara ini disegala aspek kehidupan, baik itu dibidang ekonomi, pendidikan, serta moral. Jika kita berhasil membangun masyarakat yang cerdas, saya percaya bahwa acara-acara yang tak layak tayang tersebut dengan sendirinya akan hilang dari peredaran jam tayang stasiun tv. Kalau seandainya tetap ada acara seperti itu, masyarakat telah mampu menilai dan menyaringnya, karena masyarakat sudah pada tahap media literacy atau melek media.