kajian atas UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran

0 komentar
Dalam undang-undang ini mengatur penyelenggaraan penyiaran secara umum di Indonesia seperti yang dijelaskan pada pasal 2 bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hokum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tangung jawab. Begitupun dalam pasal 6 diatur mengenai penyelenggaraan yang diselenggarakan dalam suatu sistem penyiaran nasional.
Dalam penyelenggaraan penyiaran diawasi oleh sebuah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan sebuah lembaga independen Negara yang dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya diawasi oleh DPR-RI dan DPRD. Disamping itu, UU ini juga menjelaskan tugas, wewenang, serta kewajiban dari KPI serta struktur dalam lembaga penyiaran ini.serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan pelaksaanan lembaga ini.
Pada pasal 13 ayat (2) juga menjelaskan jenis lembaga penyiaran yang mengisi sistem penyiaran di Indonesia yaitu Lembaga Penyiaran Publik, Swasta, Komunitas,dan Berlangganan. Sementara lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di indonesia, sedangkan dalam peliputannya harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam menjalankan siarannya lembaga penyiaran public dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sedangkan Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas. Sementara stasiun lokal dapat didirikan dilokasi tertentu dalam wilayah NKRI dengan wilayah jangakauan yang terbatas pada lokasi tersebut dimana sebelum penyelenggaraan kegiatan lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggraan penyiaran seperti yang dijelaskan dalam pasal 33 dan pasal 34 mengenai perizinan.
Dalam pelaksanaan siarannya, lembaga penyiaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dengan bahasa pengantar utama dalam program siaran harus betbahasa indonesia yang baik dan benar, sedangkan bahasa daerah hanya digunakan dalam siaran yang bermuatan lokal untuk mendukung mata acara tersebut begitupun penggunaan bahasa asing juga diatur dalam pasal 39. Sementara isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Peran serta masyarakatpun juga diterangkan dalam BAB IV pada pasal 52.

Sanksi-sanksi yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Dalam undang-undang ini menyebutkan ada dua jenis sanksi atas pelanggaran yang dilakukan yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang dimaksud atas pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 55 (ayat 1) berupa :
a. teguran tertulis
b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. pembatasan durasi dan waktu siaran;
d. denda administratif;
e. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu
f. tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
Sedangkan sanksi pidananya berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5), Pasal 36 ayat (6).
Selain itu, ada sanksi pidana lain jika melanggar ketentuan sebagaiman yang dimaksud dalam pasal yaitu Pasal 18 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (4), Pasal 46 ayat (3) yaitu berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Disamping itu, Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

Hubungan antara demokratisasi penyiaran dengan system stasiun TV berjaringan menurut UU No. 32 Tahun 2002.
Kejatuhan Soeharto pada 1998 memang nampak memberi angin segar bagi demokratisasi penyiaran Indonesia. Kendati nampak tanpa didasari rencana jangka panjang yang jelas, Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan. Perkembangan yang lebih penting adalah ketika kelompok-kelompok sipil yang kritis terlibat dalam penyusunan UU Penyiaran yang membawa semangat demokratisasi dan desentralisasi penyiaran.
UU Penyiaran yang akhirnya lahir pada 2002 memuat pasal-pasal yang mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Pertama-tama, UU memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia. KPI, menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik.
Begitupun dengan masalah televisi berjaringan, sistem penyiaran televisi tidak lagi berpusat di Jakarta. UU Penyiaran mengusung gagasan desentralisasi penyiaran televisi, di mana tidak lagi dikenal adanya stasiun televisi nasional yang mampu menjangkau penonton di seluruh Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam sistem baru ini, tidak lagi ada stasiun televisi nasional melainkan sistem jaringan televisi secara nasional.
Berdasarkan UU ini, stasiun-stasiun televisi lokal di luar Jakarta dapat berdiri, baik sebagai stasiun independen atau menjadi bagian dari jaringan stasiun televisi nasional. Pemodal Jakarta tetap dapat mendirikan stasiun-stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia, namun mereka tidak otomatis memperoleh izin penyiaran di sebuah daeah – yang harus diperebutkan secara terbuka, termasuk dengan pemodal lokal. Di daerah di luar Jakarta, stasiun televisi besar dapat saja mendirikan sendiri stasiun televisi lokal atau memilih mencari mitra stasiun televisi lokal sebagai bagian dari jaringan mereka.
Dengan demikian, UU Penyiaran 2002 memang seperti memberi jaminan bagi demokratisasi penyiaran. Pemerintahan dipinggirkan, untuk digantikan oleh lembaga regulasi penyiaran yang mewakili kepentingan publik. Proses perolehan perizinan, yang merupakan jantung penyiaran, dibuat murah, transparan, dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Peluang bagi kolusi penguasa dan pengusaha dipersempit. Media propaganda pemerintah ditutup. Sementara, masyarakat akar rumput diberi peluang untuk mengembangkan media kecil dan murah.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun daerah, sebagai lembaga negara yang mengawal UU Penyiaran, terus berupaya mendesak pemerintah dan lembaga penyiaran swasta tidak lagi menunda sistem stasiun berjaringan. Sebab jika terus-menerus ditunda, apalagi sampai tiga kali akan menyebabkan produk undang-undang itu tidak berfungsi dan demokratisasi di bidang penyiaran menjadi terhambat. Namun, lagi-lagi industri penyiaran televisi masih meminta penundaan pemberlakuannya. Permintaannya pun bervariasi, mulai dari hitungan minggu hingga tahun. Malahan ada yang meminta ditunda satu tahun lagi.
Sistem berjaringan ini sebenarnya merupakan usaha demokratisasi di bidang penyiaran. Pasalnya, selama masa Orde Baru telah terjadi pemusatan informasi yang dikelola dari Jakarta yang dipaksakan ke seluruh Indonesia. Kenyataan itulah yang justru menafikan keberagaman bangsa. Bangsa Indonesia yang heterogen dipaksakan untuk menerima sajian televisi yang siarannya terpusat di Jakarta. Adanya siaran lokal juga berpotensi membuka lapangan kerja baru bagi warga daerah setempat untuk berkiprah di dunia penyiaran. Misalnya membangkitkan usaha di sektor rumah produksi, seniman, penulis naskah-naskah sandiwara rakyat dan budayawan dapat tersalurkan untuk berkarya dan berkreasi melalui televisi.
Televisi lokal berjaringan juga akan mendorong televisi lokal yang telah ada untuk meningkatkan kwalitas isi siarannya. Sedangkan masyarakat lokal yang selama ini kesal dan khawatir terhadap isi siaran televisi yang tidak baik dapat lebih mudah untuk menyampaikan keluhan dan kritikannya kepada lembaga penyiaran, baik melalui KPID ataupun langsung.

1. Pentingnya Opini Publik dalam Komunikasi Politik

0 komentar
Berbicara tentang opini publik maka kita harus mengkaji dulu definisi opini. Opini adalah tindakan mengungkapkan apa yang dipercayai, dinilai dan diharapkan seseorang dari objek dan situasi tertentu. Opini memiliki beberapa proses yang dikenal dengan konstruksi, yaitu :
• Konstruksi personal. Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu secara sendiri-sendiri dan subjektif.
• Konstruksi sosial. Konstruksi ini terdiri dari
- Opini kelompok. Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.
- Opini rakyat Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas seperti pemilihan umum atau hasil polling.
- Opini massa yaitu opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.
• Konstruksi politik. Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.
Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.
Ruang lingkup opini public: Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat.
Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu.
Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital” mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada.
Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.
Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja.
Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu.
Pemerintah sendiri kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi (Kelley, 1956).
Selanjutnya, dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima (Walter Lipmann, 1922).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal.
Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat.
Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit (Gerhart D. Wiebe dalam Hennessy, 1990). Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri.